sevulgar apakah itu vulgar?

Oleh:  Muhammad Nur Abdurrahman (6107)    18 tahun yang lalu

  0 

kemarin,... saya upload foto, yg menurut sya itu fotojurnalistik, judulnya 'jadi nggak dipotong?', gambarnya suasana sirkumsisi/sunatan massal, tampak juga (agak kabur dan porsinya minimal) kelamin si anak yang sebentar lagi putus (masih terbungkus),... belum lama setelah fotoku naik, tiba-tiba komentar-fotonya dihujani cercaan, ada yg pake cih sgala lagi,... btw, i just wanna say: how vulgar is vulgar? vulgar mana fotoku dgn foto yg slalu mengeksploitasi tubuh perempuan, apakah ketelanjangan wanita bukan kevulgaran? bandingkan dgn ekspresi anak yang sementara telanjang saat disunat! saya masih mengingat satu foto-jurnalistik olahraga di FN jg, seorg pemain bola berkulit hitam yg sementara melompat dan nongol kelaminnya yang juga hitam. komentarnya lucu2 aja koq,... malah, seingatku, tak ada yang mempermasalahkannya... kacamata apakah yang kita harus pakai untuk melihat satu kevulgaran? pakai mata lelaki normalkah ( yang umumnya mata keranjang) atau pakai mata lain seperti mata kaki.... atau matahati... mungkin ini hanya kebingungan saja, bukan satu kejengkelan, sumbangsih/saran menjadi poin penting buat saya.... ......
Foto di modified by Mod ;)

Re: sevulgar apakah itu vulgar?

Oleh:  Siryogi Ansyah FM (14897)    18 tahun yang lalu

 0 

Sebenarnya bukan masalah vulgar atau tidak yang membuat member FN tidak mau memandang lama-lama, tapi sebuah momen yang dirasa tidak enak dinikmati. Bukan hanya sunatan saja, banyak kejadian lain yang jika motretnya salah malah membuat orang lain ingin memalingkan wajah.
Contoh kasus, adalah korban perang. Para fotografer profesional bisa menceritakan kejadian perang bisa dari sisi dokumentasi dan portrait. Dari sisi dokumentasi, mereka mengambil gambar momen sewaktu perang. Dari sisi portrait, mereka bisa mengambil ekspresi korban perang. Ada juga yang ditambah dengan BG rumah-rumah yang roboh. Pemerhati foto jika memandang foto-foto tersebut, tidak akan memalingkan wajah karena jijik, tapi pesan dari si fotografer melalui foto tersebut masih bisa tersampaikan. Kita juga jarang melihat foto yang bercita rasa seni menampilkan hasil korban perang dengan tangan kepotong, atau badan tersayat. Itu karena bisa-bisa pemerhati foto malah tidak mau menikmati foto tersebut, yang akhirnya pesan yang ingin disampaikan tidak tercapai.