Oleh: K Wijaya (9411) 20 tahun yang lalu
"Nothing is ever the same as they said it was. It's what I've never seen before that I recognise." "It's important to take bad pictures. It's the bad ones that have to do with what you've never done before. They can make you recognize something you hadn't seen in a way that will make you recognize it when you see it again." Diane Arbus
untitled 2:
untitled 3 :
untitled 4:
untitled 5:
untitled 6:
untitled 7 :
untitled 8:
untitled 9 :
Oleh: A. Raditya Pratistha D,Ndoro Tuan (44548) 20 tahun yang lalu
weee...akhirnya kamu bikin juga nih...hmm berikan tempat buat mereka untuk berpose :)
Oleh: Nina Marzoeki (27061) 20 tahun yang lalu
wow... amazing... love it! thanks...
Oleh: Alva F.P. Sondakh (9358) 20 tahun yang lalu
"Nothing is ever the same as they said it was. It's what I've never seen before that I recognise." "It's important to take bad pictures. It's the bad ones that have to do with what you've never done before. They can make you recognize something you hadn't seen in a way that will make you recognize it when you see it again." Diane Arbus Why should I call them "the bad ones"??? Why should I call them "bad Pictures"??? Define BAD!! i see nothing but beautiful pictures, with beautiful God's Creations!!! there's nothing wrong with them!! pity for u who call them bad!!!
Oleh: Rochim Hadisantosa (104553) 20 tahun yang lalu
Menambahkan kutipan Wijaya. Diane Arbus (1923-1971) bekerja dengan direkt flash untuk memisahkan subyek dengan background, cara kerja yang kemudian menjadi dasar kerja foto jurnalistik. Cenderung memotret obyek dalam posisi frontal, dan tidak terlalu pusing terhadap kata 'komposisi'. Ok, kurasa cukup itu hal teknisnya ttg Arbus, nggak ada yg istimewa nampaknya, dan memang biasanya foto berisi nggak membagi terlalu banyak perhatian hanya pada hal2 teknis (?). Obyek foto-foto Diane Arbus adalah terutama manusia, bila hanya melihat satu dua fotonya nampak sepintas sbg tema yang 'sangat biasa', apalagi tanpa mau tahu apa-apa dibalik itu. Yang ditampilkan Wijaya di atas kebetulan hanya salah satu proyeknya ketika dia meliput komunitas penyandang cacat fisik/mental di sebuah perkampungan khusus. Mohon kata 'proyek' di sana nggak dimengerti sbg proyek komersial ya hehe :). Mengapa foto-foto ini yang ditampilkan untuk menggambarkan Arbus? Mungkin inilah contoh paling mudah untuk memahami apa ruang perhatian utama seorang Arbus dalam foto-fotonya, manusia dan penerimaan masyarakat terhadapnya. Para enyandang cacat pada saat itu masih belum terlalu umum muncul hadir di tengah masyarakat, di dalam bbg bidang2 kegiatan, mereka orang-orang yang tidak dikenali. Mungkin tepatnya, tidak ingin kita kenali. Arbus a.l. mengungkapkan pengenalannya pd kondisi tsb pada foto-fotonya dengan memakaikan topeng2 pada wajah-wajah mereka. Seolah mereka nggak punya wajah, bukan manusia. Mereka orang yg belum sepenuhnya diterima. Demikian foto-fotonya telah menjadi media kritik sosial. Bahkan hingga saat ini saya rasa kondisi mereka penderita cacat masih demikian. Saat ini, khususnya di negara maju (?), mungkin kita dapat melihat mereka ada dimana-mana, di ruang terbuka, di taman kota di jalan-jalan. Tapi apakah semudah itu pula bisa melihat mereka bekerja di ruang perkantoran? bekerja di pertokoan, di industri, di semua bagian yg mungkin? saya melihat mereka kuliah di kampus, sekelompok yang tuna rungu akan mendapatkan seorang penterjemah bahasa isyarat saat dosen berbicara, tapi sungguh saya nggak tahu nasib mereka ketika mereka harus terjun mencari kerja. Ah, mungkin sebenarnya kita nggak mau tahu.. Apa yang dilakukan Arbus dng mencoba mengangkat mereka ke 'permukaan' saat itu tergolong istimewa, foto-fotonya dianggap kontroversial, sekaligus mendapat publikasi luas, walau kemudian ia menyaksikan setelah itu banyak fotografer karbitan meniru hal yang sama, obyek dan style-nya, hingga ke jenis kamera dan flash yang dipakainya, entah mungkin karena keinginan akan publisitas atau apa. catatan. Sebagian besar isi tulisan ini adalah apa yang Wijaya Sjurya ceritakan tentang Arbus saat kami hunting bareng. (Thx to Wij atas sharing yg padat berisi itu). Wijaya rupanya malas cerita dng tulisan ttg salah satu fotografer favoritnya, tapi cuma cerita lewat foto saja, mungkin males ngetik :), walau jadinya kalo cuma lewat foto dan sedikit quote membuat agak sulit menyimak secara dalam. Saya hanya merangkum kalimat Wijaya yg kuingat, sambil mencari sumber lain di sana-sini. Semoga bisa sedikit menjelaskan apa yang dimaksud Wijaya dng kutipan singkat dr Arbus itu. Juga menjelaskan idea Arbus pd kata "bad pictures" di sana (thd pertanyaaan retorik sdr Alva Sondakh). Kalau saya kok nggak melihatnya hanya kasat mata bahwa yg dimaksud cuma subyek yg buruk semata, wajah atau kondisi tubuh yg buruk semata di foto2 itu, pls read between the lines. Pada bagian ini saya percaya sebagaimana Arbus tentu percaya bhw itu bagian dr karya Tuhan yg penuh warna. Tapi Arbus sebenarnya tengah memotret kondisi2 sosial yg buruk, akseptansi masyarakat yg buruk pada elemen2nya sendiri. (Arbus pernah juga berbulan-bulan terjun dalam perkampungan nudis untuk meliput dunia lain itu). Mungkin rangkaian "bad pictures" itu yang membuat ia disebut sbg perintis fotografi dokumentari kontemporer, karya-karyanya masuk Museum of Modern Art, New York. Mungkin hal-hal buruk itu juga yang menghantuinya dan menyebabkan ia pd th 1971 bunuh diri.
Oleh: Suryo Wibowo (25088) 20 tahun yang lalu
wah top banget... thx banget buat sharing foto2 ( Wij )dan tulisannya ( Ochim ) :D :D.
Oleh: D. Setiadi (81319) 20 tahun yang lalu
Sebetulnya saya ingin memotret handycap seperti mereka ini. Di tempat saya tinggal juga banyak dan ada asrama khusus untuk mereka yang menyandang illness seperti ini. Tapi kok rasanya gak tega yach...:(
Oleh: Yoni Tan (13785) 20 tahun yang lalu
Lebih tertarik lagi tentang fakta bahwa Diane Arbus itu akhirnya bunuh diri. Apakah secara mental itu sehat jikalau kita memotret suatu keadaan yang negatif terus menerus meskipun kita bermaksud baik untuk menumbuhkan suatu kesadaran di masyarakat umum bahwa ada keadaan negatif / ketimpangan sosial tersebut ? Seperti Diane Arbus ini apakah tenggelam dalam surroundingnya yang negatif atau bagaimana ? Lebih2 tergelitik lagi dengan misalnya apa sih yang kira2 dipikirkan oleh wartawan jurnalistik kondang seperti James Nachtwey ketika mengambil gambar yang ada. Apakah dia secara emosional terlibat terus menerus didalam setiap gambar yang dia ambil ? Jikalau ya, bagaimanakah dia bisa menahan beban mental negatif tersebut ? Sorry kalau OOT yah.
Oleh: Erwin Heryanto (12578) 20 tahun yang lalu
Terimakasih buat fotonya Mas Wijaya dan keterangan fotonya Mas Rochim.
Oleh: Widarto Adi, darto (13411) 20 tahun yang lalu
terimakasih buat pencerahannya :D, its a good topic, but not my favourite, foto journalism, emang berat banget secara mental dan fisik, kalau idelisme yg kita junjung tidak kuat, bisa-bisa kita yg kesakitan, baik mental maupun fisik. Zen of Photography ? might be :D
Mas Rochim : bukankah pertanyaan retorik saya yang menjadi "triggering question" buat tulisan anda ?? hehehe....(hope so) ok, let's talk about Diane Arbus.. memang saya belum melakukan research terhadap Diane Arbus, but let me make my comments based on these series of pictures....(i haven't seen any other pictures made by her)... menurut saya, Diane Arbus kurang bisa mengangkat kondisi "orang yang tidak diterima"....why?? melihat kondisi gambar yang ditampilkan (not technically), first from the background...kita melihat orang - orang ini berada pada suatu tempat yang "asri, nyaman, indah" (open lawn, trees, good house, etc)...apakah ini bukan suatu bentuk penerimaan, dalam arti orang - orang ini dirawat dan diperlakukan dengan baik.... next, from the clothing...i see nothing but beautiful normal clothing...bukankah itu juga suatu bentuk penerimaan?? nice, clean clothing... ultimately, from their faces, and poses....do you see any form of rejection??? i see not....i see happy faces!! pemakaian topeng...ah, saya kira itu hanya pemaksaan subjektifitas fotografer terhadap masalah ini....coba tanya pada orang - orang ini, apakah mereka merasa tidak diterima?? saya rasa tidak... mungkin pada zaman itu orang - orang ini kurang diterima, tapi foto - foto ini sama sekali tidak menunjukkan kondisi "kurang diterima" tersebut mungkin kelemahan dari ditampilkannya foto - foto ini, adalah kurangnya "caption" yang bisa melengkapi....memang foto bisa bicara, tapi pada foto jurnalistik saya kira "complementing text" juga perlu... saya yakin Diane Arbus memberikan "complementing text" tersebut...karena tidak mungkin dalam publikasi, foto - foto ini tidak disertakan text - text pendukung.... any comments ??? comments are welcome, you know...hehehe PS : karena ini foto jurnalistik (and just in case u are questioning my methods of reading photography) i'm reading these series using Semiotika Negativa (Roland Barthes)
Oleh: Agan Harahap (77838) 20 tahun yang lalu
hemmmm......
Oleh: Cessy Karina (42569) 20 tahun yang lalu
thanks kak Wijaya, thanks kak Rochim. banyak sekali yang saya belum tau ...
Mas Rochim : we're talking about the photographs, not about some surveys, right....we cannot ignore the simple facts that they are happy, you know.... i get the feeling that these people merely tools used by the photographers for the protest against the society... menurut anda, orang - orang ini memang tidak bahagia ya?? do you really think that they really care about their social life?? i don't think so...as long as they're happy... memang kayaknya, hanya kita - kita saja yang mempermasalahkan apa yang baik dan buruk buat mereka...menurut standar kita saja...right?? PS : please, don't get upset with me....kalo comments di forum ini cuma "Thx....lovely pics....etc", gimana kita mo apresiasi foto - foto ini, iya kan??? i'm just trying to look deeper....
Alva: "Mas Rochim : we're talking about the photographs, not about some surveys" Kak Alva, Diane Arbus dihargai dalam foto2 itu karena nggak sekedar photograph, dalam arti sekedar pictorial, tapi bicara soal sosial, maka contoh survey yg saya tulis itu sangat relevan. Lagian topik ini ada dalam konsep dan tema, sudah jelas arah yg dituju adalah isi foto. Alva: "do you really think that they really care about their social life?? i don't think so...as long as they're happy..." Anggapan nada bhw mereka bahagia hanya tebak-tebakan bukan? kalau mereka bisa mengungkapkan keinginannya, mungkin akan ada sederet keinginan atau jawaban berbeda dari anggapan kita, seperti pd survey para manula itu, yang nggak ingin sekedar tinggal nyaman dan bisa tersenyum, tapi juga menginginkan kontak sosial yg wajar dng orang disekitarnya. Kalau fotografer bisa berperan menjadi pengamat sosial dan berperan lebih, bukankah itu lebih bagus, alih-alih menghargainya mengapa justru menyangsikan perannya? Bukankah wartawan/jurnalis foto selama ini telah melakukan hal itu lewat media koran.
wah, kok saya dipanggil kak sih...i'm not that old to be called like that, i'm only 23 (but that doesn't make me "gampangan", ok, hehehe)...lagian, saya yakin Mas Rochim jauh lebih tua dari saya (terlihat dari foto personalnya, hehehe)... menyangkut survey pada manula itu, saya kira akan ada perbedaan yang sangat besar jika survey ini dilakukan pada saudara - saudara kita yang terbelakang mentalnya....saya kira mereka "tidak" (i'm trying to find the right word, but this is the best i can find) punya keinginan seperti halnya orang seperti saya dan mas rochim.... apa yang mas rochim katakan sebagai kontak sosial yang wajar mungkin tidak ada dalam kepala mereka...pasti yang wajar itu adalah wajar menurut standard kita kan??....kemampuan sosial mereka jika dibandingkan dengan kemampuan sosial kita mungkin setara dengan seorang anak berusia 5 tahun ke bawah (just my assumption)....dan seperti yang saya katakan, saya kira mereka belum punya keinginan untuk ber kontak sosial seperti kita.... let's get back to these photos.... saya tidak menyangsikan peran seorang fotografer sebagai pengamat sosial, apalagi Diane Arbus....juga kredibilitas Diane Arbus....tetapi sekali lagi let's get back to these photos (and not to the other photos made by her) these photos, saya pikir, sudah dikonsumsi begitu saja, tanpa ada rasa "percaya" (istilah Barthesian)....kita terlebih dulu dipengaruhi oleh subjektifitas fotografer yang mengambil foto - foto ini...ketika fotografer mengatakan orang - orang ini tidak diterima oleh society, maka kita begitu saja menganggapnya demikian....kita sebagai pengamat tidak ada keberanian untuk bertanya lebih dalam.... (sekali lagi ini pengamatan saya terhadap foto - foto ini, tanpa adanya teks pendukung yang diberikan, dan terlepas dari fakta bahwa zaman itu orang - orang ini tidak diterima) perhatian kita hanya tertuju pada wajah - wajah yang tidak normal ini, tapi kita kurang memperhatikan the "surrounding"....do they live badly?? do they live in hunger?? do they live in poverty?? do they live in rejection?? i don't think so saya sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh Diane Arbus, tapi saya kira dia kurang bisa menerjemahkannya dalam bahasa fotografi....(sekali lagi ini pengamatan saya terhadap foto - foto ini, saya belum pernah melihat karya - karya lain darinya)....mungkin, ini pendapat saya, kalau dia bisa menampilkan surrounding yang lebih mendukung subjektifitasnya, saya kira foto orang - orang ini akan lebih kena pada maksud awal....maksudnya, kalau saja orang - orang ini difoto beserta surrounding yang "kumuh", etc.....or the least, no background at all...just plain black.... coba bayangkan jika dalam foto - foto ini juga disertakan para perawatnya (so to speak), yang lagi senyum, bahagia bersama mereka, pasti kesan "tidak diterima" akan sirna..... realisme dalam foto jurnalistik memang susah untuk dialami...menurut Barthes, ada dua macam Pengalaman Realisme dalam foto media (jurnalistik), yaitu Realisme Relatif dan Realisme Absolut (i hope anda pernah mendengar hal ini)...saya mengalami Realisme Absolut dalam memahami foto - foto ini, karena saya memahaminya terlepas dari "proyek/keinginan fotografer"...kalau anda memahaminya tanpa ada rasa "percaya diri" (Realisme Relatif), anda pasti akan mengikuti keinginan fotografer dan menerima begitu saja bahwa orang - orang ini tidak diterima oleh society, dan kemudian menjadikan foto - foto ini flat..... kalau ada kesempatan, akan saya angkat dalam topik baru mengenai Realisme Absolut dan Realisme Relatif ini...hehehe, just wait (itupun kalau Mas Rochim belum pernah mendengar akan hal ini....kalau sudah, lebih baik dibicarakan di sini saja, iya kan, mas rochim??) o ya, pemikiran Roland Barthes muncul sekitar tahun 1950-1970an...saya tidak tahu apakah foto - foto ini muncul sebelum atau sesudahnya...ada yang tahu???
Saya kok melihatnya lain yah ? Bukan penerimaan ataupun tidak diterima yang ingin ditampilkan didalam foto itu. Tetapi ditampilkan mereka apa adanya dan biarkan yang melihat itu yang dapat menentukan sendiri sejauh mana mereka dapat menerima mereka. Jadi foto2 itu sendiri hanyalah sebagai penggugah tetapi tidak harus menunjukkan tidak diterimanya mereka atau tidak. Sekalian sharing saja dengan rekan2 soal orang tua. Saat ini saya mempunyai kakek yang berumur 85 tahun. Setiap hari dia melakukan rutinitas membaca koran, kemudian makan dan kembali ke kamar untuk tidur siang, makan dan begitu seterusnya. Kadang2 kakek saya "tersesat" didalam rutinitas yang ada, dimana dia tidak bisa membedakan antara siang dan malam, sehingga pernah dia pada waktu siang2 tiba2 berteriak minta ditemanin tidur karena setiap malam memang kakek saya merasa takut2 sendiri jadi harus selalu ditemanin. Setiap hari Minggu ayah saya selalu berusaha meluangkan sehari penuh untuk dapat mengajak Kakek pergi (dengan kursi roda). Syarat pertama sih mal yang akan dituju sebisa mungkin mempunyai fasilitas utk kursi roda sehingga tidak perlu menggunakan lift ataupun escalator. Kemudian kalau makan harus bubur karena gigi bagian bawah sudah habis semua. Sewaktu makan, selalu memakai baby's napkins karena selalu ada saja yang keluar dari mulutnya lagi. Jadi siap tissue dan lain2. Kakek saya sih cuek2 saja dan merasa senang terutama makan ice-cream meskipun mukanya jadi belepotan. Saya rasa sih bukan dari mimik ataupun surrounding mereka yang tidak memadai yang dikatakan sebagai syarat tidak diterimanya mereka atau tidak. Bisa saja semua sarana tersedia, tetapi jikalau tidak ada yang mengajak interaksi. Apakah itu dapat dianggap sebagai suatu bentuk penerimaan ? Saya sendiri tidak terpikir contoh kasus lain di sekitar saya kecuali Kakek saya dimana jelas2 hal itu mungkin bisa diliat orang lain sebagai hal yang menjijikkan dan merepotkan. Memasangkan napkins (tadah iler ?), kemudian membersihkan mulutnya berkali-kali waktu makan. Nggak tahu kenapa, saya rasa acceptance is not just the act of material provision, but rather spiritual and emotional fulfillment juga dan dalam hal ini saya sangat mengagumi ayah saya. Mungkin Diane Arbus bagi Kak Alva tidak / kurang menggugah dalam portrayal of the social rejection, tetapi saya merasa Diane cuman mengingatkan saja ada part of society yang sudah terlupakan.