Oleh: Feri Latief (10508) 21 tahun yang lalu
Bersyukur saya mendapat kesempatan untuk mengikuti Workshop Foto Potret yang diadakan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) bekerja sama dengan Goethe Institut Jakarta, sebagai bagian dari pameran foto potret yang berjudul “Wajah Jerman” karya fotografer Stefan Moses. Dag dig dug der juga mengikuti seleksi ketat para peserta (Portfolio dan Wawancara). Sempat pesimis melihat peserta yang mendaftar ternyata banyak. Apalagi saya sempat melihat portfolio mereka, walah jadi keder saya. Ada yang memang wartawan beneran, ada fotografer lepas beberapa media,ada yang lulusan sekolah foto terkenal di Jakarta, ada mahasiswa IKJ, ada yang pernah berpameran foto dan ada yang blo'on-blo'on kayak saya ini. Alhamdulillah, saya termasuk 20 orang yang lolos seleksi bersama Elsa Anggraini yang juga anak FN. Kita berdua kayaknya yang jadi wakil FN nih...kek...kek...kek... Tulisan ini sekedar berbagi atas apa-apa yang saya dapatkan pada workshop itu. Kali ini saya ingin berapresiasi tentang Stefan Moses, Arnold Newman, Richard Avendon dan Annie Leibovits. Stefan Moses, “Manusia adalah masyarakat Kecil”. Dari ungkapan yang beliau nyatakan maka mengalirlah karya-karya foto dengan pendekatan penghormatan pada Manusia. Karya-karya beliau hangat dan teaterikal. Maklum sebelumnya beliau biasa memotret teater. Beliau sangat konsisten berkarya, potretnya berisi manusia jerman dari berbagai kalangan: tukang potret keliling, nelayan, petani sampai tokoh-tokoh penting Jerman. Foto-fotonya membantu menampilkan identitas manusia Jerman. Dari pengamatan saya karya beliau memang berbau teater dan jenaka tapi respek terhadap manusia yang dipotretnya. Moses banyak melibatkan dalam menciptakan 'adegan' yang ingin mereka potret. Tapi walau begitu unsur spontanitasnya tetap terjaga. (Lihat foto Stefan Moses di bawah ini)
Foto Potret apaan sih? Robert Sobieszek (kurator di museum George Estman House bilang begini, “ Foto Potret yang baik akan menunjukkan kedalaman -keaslian seseorang seseorang yang membedakan dia dengan penampakan “topeng”nya di antaranya; ekspresi, kerut muka, mimik. Meski diakui tidak mudah menemukan keunikan tiap manusia yang memiliki berbagai faset kehidupannya. Tapi ada saja foto yang bisa disebut sebagai “Significant portraits”. Jadi foto potret yang baik adalah foto yang berhasil yang membuka 'topeng' seseorang , alias bisa mengemukan jati diri orang itu sebenarnya. Arnold Newman punya pandangan lain, dia mengakui tidak ada satu foto yang bisa dipakai untuk menjadi kesimpulan karekteristik individu. Terlampau banyak facet kehidupan manusia yang tak mungkin ditampilkan dalam satu foto. Maka kalau Arnol membuat potret dia tidak menyatakan tengah memotret tetapi membuat satu bangunan Potret. Arnold dikenal dengan sebutan Environmental Portraits. Ciri khasnya menggunakan dua buah lampu di kiri kanan orang yang akan dipotret sambil dipadukan dengan pencahayan alam yang ada. Di bawah ini ada sebuah foto penjahat Perang Dunia ke II, seorang industriawan asal Jerman yang dia potret dengan latar bangunan pabriknya. Kesan wajah yang bengis nampak dalam foto ini.
Oleh: Andrian Purnama T.S. (10973) 21 tahun yang lalu
Ah ironi ya, foto kaya gini di FN pasti nilainya biasa2 aja
Oleh: Nugroho Adhi, FGPLE (778) 21 tahun yang lalu
Andrian: inget aja kalimat di kaos FN: Biar foto yang bicara
Oleh: Raymond E. I. Pardede (7524) 21 tahun yang lalu
Setuju dengan pak Andrian. Kalau di FN biasanya foto yg kedua akan dikomentari: "dagunya kok kepotong?", "BG kurang blur"... dsb :) Berbicara mengenai seni fotografi, saya melihat bahwa memang selera seni orang barat dan selera seni orang timur berbeda. Contohnya antara karya seni lukis Italy dan China, kita bisa menangkap nuansa yang berbeda dalam bagaimana sang seniman memandang obyek-obyek lukisan menjadi satu komposisi yang dituangkan ke dalam bentuk karya seni... Keduanya sama-sama bagus, tapi beda... Terima kasih kepada pak Feri Latief, atas sharingnya, dan bagi saya pribadi, sharing ini semakin membuka wawasan saya lebih luas lagi mengenai seni fotografi... :)
Oleh: Akhmad Sutrisno (80477) 21 tahun yang lalu
Wahh...Kang Feri Latief hebat euy.....=D>=D>=D>
Lain lagi dengan Richard Avedon. Beliau dikenal sebagai portraitist yang “kasar”. Foto potret yang dibuatnya tidak sentimental, tidak romantik dan terkadang datar. Wajah yang dia tampilkan kadang-kadang kasar, sini, miskin senyum. Dia sering menahan berlama-lama tombol rana kamera agar ketika orang itu kesal menunggu lama untuk dipotret dan menampilkan karakter aslinya barulah dia melepas tombol rana. Pendekatan beliau dengan orang yang dipotretnya kadang kala memancing emosi obyeknya dan di saat-saat itulah dia melepas tombol rana kameranya. Di bawah ini foto potret karya Richard Avendon.
Oleh: A.Irwan Endrayanto (7437) 21 tahun yang lalu
thanks for sharing kak Feri... membantu utk memahami hakikat potret... saya jadi merasa kayak bener2 ikutan workshop-nya
Annie Leibovits adalah fotografer potret yang banyak celebritis dunia yang ingin dipotret olehnya. Foto-fotonya sangat kuat dan berkarakter. Para celebritis dunia menunggu-nunggu kapan dia akan di potret oleh Annie Leibovits. Annie sering menggunakan film berwarna dibandingkan BW. Foto-fotonya full color, selalu arstistik, unik dan berhasil menampilkan karakter orang yang dipotretnya. Berikut foto Jhon Lenon dan Yoko Ono karya Annie.
setuju dg kak Raymond Pardede...memang selera(baca: "rasa") ) seni timur dan barat berbeda... penilaian/apresiasi karyanya pun berbeda... so ngga heran kalo ada komentar 'dagu kepotong' ...atau 'sayang modelnya kaku'..:D :D
Oleh: Muhammad Reza, Kodok (15273) 21 tahun yang lalu
gile fer...... konsep mereka mateng2 banget ya?
Oleh: Benny Asrul (55279) 21 tahun yang lalu
luar biasa... thanks for sharing mas...:)
Oleh: Widarto Rachbini (24647) 21 tahun yang lalu
waduh saya jadi bingung nih. Saya yang tidak paham seni, memang benar-benar bingung. Bagi saya memang ketiga foto di atas biasa-biasa saja. Mungkin selera saya belum nyampek pada "derajad" yang sebenarnya untuk memahami hal tesebut. Saya berandai-andai. Ini andai2 lho. Andaikata ketiga foto itu diberi label "copyright" Widarto Rachbini atau Feri Latief, berapakah jumlah seniman atau ahli seni serta masyarakat awam yang akan mengatakan foto2 tersebut memiliki "derajad" yang tinggi dalam bidang seni. Dugaan saya. Ini dugaan lho. Mungkin tidak banyak yang mengatakan foto2 itu bagus. Saya juga menduga, mungkin tidak sedikit yang melihat foto itu dari pemotretnya, bukan hasil karyanya. Yang sok tahu, malah akan mengatakan dan memuji-muji sebuah karya memiliki kualitas tinggi hanya karena melihat nama besar sang pemotretnya, bukan pada kualitas karyanya. Foto2 bagus di FN tolong juga jangan diremehkan, karena yang mengatakan foto2 itu bagus banyak orang. Masing-masing aliran, mempunyai penikmatnya sendiri. Seperti halnya jazz dan dangdut. Jadi menurut saya, bagus dan tidak itu, sering kali menjadi sangat subyektif. salam :)>-
Oleh: Aulia Shina Primayog (3606) 21 tahun yang lalu
Feri dan Widarto, thanks for your sharing....very good membuka wawasan kita.
Oleh: iing Gunawan, sidoel (27236) 21 tahun yang lalu
thanks for sharing fer nambah wawasan
Oleh: Hedi Priamajar (49168) 21 tahun yang lalu
Makasih atas sharingnya, Mas Feri. Untuk jadi sekaliber Stefan Moses, Arnold Newman, Richard Avendon dan Annie Leibovits itu pasti jalannya panjang banget yak ?
Oleh: Suryo Wibowo (25088) 21 tahun yang lalu
:-? to be or not to be... (Shakespeare - Hamlet) :-? :-? :-?
Oleh: K Wijaya (9411) 21 tahun yang lalu
diane arbus... kapan yah...?
Yuk kita ngobrol seni... Saya mohon permisi utk rekan-rekan yang benar-benar seniman sejati atas kelancangan saya meneruskan diskusi seputar seni di thread ini. Sebab saya jadi tertarik berbincang-bincang sedikit dengan pak Widarto Rachbini, yang postingnya ada di atas. :) Menanggapi pak Widarto Rachbini, memang untuk menikmati suatu karya seni, ada dua cara. Cara pertama ialah menikmati seni dengan alat indera kita dan Cara kedua ialah menikmati seni dengan menggunakan segenap akal budi. Kalau sekedar indera kita, contohnya mendengarkan musik dari CD player sembari badan kita menari-nari mengikuti irama musik. Sedangkan penikmat seni yang menggunakan segenap akal budi, biasanya karena orang tersebut benar-benar paham bagaimana susahnya suatu proses sehingga terciptanya suatu hasil karya seni tersebut. Saya ambil contoh, seorang pemain gitar yang mengerti susahnya chord jazz, pasti akan bertepuk tangan ketika mendengar Lee Ritenour memainkan kunci-kunci yang "miring" tapi tidak fals dalam sebuah konser, sedangkan bagi orang yang tidak mengerti, pasti hal tersebut dinilai membosankan saja. Atau juga seorang penyanyi sejati pasti akan mengerti bagaimana hebatnya ketika seorang Pavarotti melantunkan nada sampai C# di oktaf ketiga dengan menggunakan teknik pernafasan diafragma dan suara kepala tanpa terseok sedikit pun, sedangkan bagi yang tidak mengerti, hal tersebut dianggap noise atau kebisingan di telinga dia. Begitu juga dengan karya-karya dari fotografer besar, umumnya karya mereka memiliki ciri tersendiri yang menunjukkan karakter seni mereka. Saya rasa, kita semua juga sama-sama terus sedang belajar untuk memahami pesan dan menikmati apa yang ingin disampaikan dari suatu karya seni, terutama seni fotografi ini. Saya dulu termasuk salah seorang yang meremehkan fotografi, sebab saya suka sekali melukis atau membuat komik. Waktu itu saya merasa bahwa fotografi ini seni untuk orang-orang malas yang tidak mau belajar melukis. Nyatanya tidak sama sekali. Fotografi itu bukan sekedar mengatur komposisi, tapi juga tak kalah penting bagaimana mewujudkan komposisi itu sendiri menjadi hasil karya seni yang bisa dinikmati oleh yang melihatnya. Dan itu memiliki kesukaran tersendiri... Stefan Moses, Arnold Newman, Richard Avendon dan Annie Leibovits ini telah menemukan "jati diri" karakter seni mereka sendiri, sama seperti ketika sang maestro alm. Affandi menemukan "jati diri" seninya dengan lukisan a la orek-orekan-nya beliau. Kalau saya menilai dari foto-foto mereka di atas, saya ragu sekali kalau saya juga bisa merekam emosi manusia dalam bentuk gambar secara baik. Saya tidak yakin apakah saya bisa merekam ciri khas dan karakter seseorang yang bila dipantulkan melalui lensa kamera dan menghasilkan suatu gambar, kemudian ada orang lain melihatnya, maka orang itu mampu menggambarkan persis karakter orang tersebut dengan tepat. Sharing dari pak Feri Latief juga membuka mata hati saya untuk mencoba lebih menikmati karya seni rekan-rekan di FN ini, ketimbang hanya memikirkan prinsip-prinsip teknis fotonya saja. Saya sependapat dengan pak Widarto, bahwa dalam proses belajar ini, kita masih mencari pegangan dan "tokoh seni idola" kita, sehingga apabila copyright foto-foto di atas diganti menjadi Raymond Pardede, tentu nilai foto tersebut menjadi berkurang karena sisi subyektifitas. Untuk itu saya mengembalikan lagi kepada kejujuran hati kita semua, apakah kita dalam mengagumi hasil karya foto masih berdasarkan sistem "paduan suara" ataukah karena memang mata hati kita yang mulai terbuka dan mulai bisa menikmati satu hasil karya foto dengan segenap akal budi kita... Salam dan mohon maaf apabila ada salah kata yang saya sampaikan...:)
=D> mantap penjelasannya panjang juga yah :D
Oleh: Heri C., Winale (5653) 21 tahun yang lalu
bang raymond, mari kita lanjutkan diskusi. saya setuju dengan paparan bang raymond. satu pertanyaan saya, apakah aliran2 seni seni itu merupakan tahapan sebuah proses ataukah aliran2 seni itu memang merupakan sesuatu yang yang terpisah? maksud saya, selera orang yang menikmati dangdut (misalnya) masih lebih rendah apresiasi seninya dibandingkan dengan orang yang mampu menikmati jazz? ataukah selera umum di FN ini masih rendah derajad pemahaman seninya dibandingkan dengan orang-orang yang telah mampu menikmati keindahan tiga foto di atas? singkatnya, orang awam selera seninya berada di aliran A, kemudian kalo udah meningkat apresiasi seninya naik ke aliran B dan seterusnya. ataukah setiap aliran itu, sama derajadnya dan tidak bisa dibandingkan satu sama lain? bila ada sebuah aliran merasa memiliki derajad lebih tinggi terhadap aliran lainnya, maka telah terjadi hegemoni atas aliran lainnya. jika demikian halnya, bukankah semua aliran akan memiliki hak yang sama untuk mengatakan mahzab yang diikutinya paling baik dibandingkan dengan yang lainnya? itu aja bang pertanyaannya. maaf bang, bukan mau berdebat. hanya ingin melanjutkan diskusi untuk menambah wawasan. tengkyu :)>-
Oleh: susilo w. (50869) 21 tahun yang lalu
Air laut yang luas dan biru adalah indah bagi petani di gunung, tinggi dan tegarnya serta hijaunya gunung tentu indah bagi nelayan. Segarnya angin di gunung terasa nikmat bagi petani di gunung, lembutnya angin laut terasa menyejukkan bagi nelayan. Petani dari gunung tentu merasa kegerahan dengan udara di pantai, nelayan akan merasa kedinginan terkena angin di gunung yang sejuk.
Untuk Pak Widarto: Saya pikir bukan sekedar selera, melainkan konsistensi dalam berkarya. Silakan label foto-foto potret tadi diganti dengan nama orang lain, misalnya saya, betul penilaian orang bisa berbeda. Tapi kemudian orang akan menunggu hasil foto-foto saya yang lain apakah ada kekonsistenan dalam berkarya baik dalam ide, mutu dan karakter. Memang yang saya tampilkan dari mereka hanya sebuah foto tapi itu sekedar mewakili kekonsistenan karya mereka. Itulah yang kita tidak punyai. Penghargaan orang (baca: pengakuan dunia) bukan dari sekedar gambar yang bagus atau karena selera orang sedunia ini tapi dari pencapaian mereka. Foto-foto mereka yang saya upload memiliki tahapan proses yang panjang sampai dapat pengakuan dunia. Semua orang mungkin bisa bikin foto seperti Annie Leibovits, tapi bisakah sekonsisten dia menjaga mutu dari karya-karyanya. Silakan lihat sendiri foto-foto Annie kita semua pasti tercengang. Betapa keorisilan ide dan mutu tetap terjaga dan orang yang dipotretnya menjadi begitu kuat karakternya. Dan itu tidak didapat hanya dalam semalam, bertahun-tahun mereka membangun reputasi. Datanglah ke pameran foto Stefan Moses di Goethe Institut, dan lihatlah betapa konsistennya dia dalam berkarya. Dan untuk itulah dunia mengankat topi untuknya. Silakan ganti label nama pada foto-foto mereka dengan nama saya, tapi kemudian orang akan menunggu karya saya yang lain, konsitenkah? Kelak semua orang akan tahu bahwa apakah memang karya saya perlu dikagumi atau tidak. Apakah sekedar karya yang numpang lewat atau menghujam kuat dalam diri setiap orang yang pernah melihatnya. Jadi semuanya bukan sekedar selera dan label nama. Salam.
Oleh: Dita Primanti (9556) 21 tahun yang lalu
Menarik sekali tentang portraiture ini... itu foto Lennon dan Yoko karya Leibovits, kalo nggak salah foto terakhir Lennon; dia dibunuh beberapa jam setelah foto itu diambil...Mengenai apresiasi terhadap potret seperti di atas, menurut saya mungkin di situlah pentingnya keterangan foto. Foto penjahat perang di atas akan lebih "menggigit" kalau diberi keterangan bahwa orang tsb adalah mantan Nazi, dibanding kalau pelihat tidak diberi tahu. Lighting dramatik dari si fotografer lebih terasa efeknya karena ditambah "imajinasi" dari pelihat foto tentang perbuatan Nazi pada jaman itu. Dagu yang terpotong, memang selera si pemotret mungkin, tapi memang efektif untuk membuat orang penasaran dan bereaksi...Makasih Bung Feri atas sharingnya!
Oleh: Wiratno (11293) 21 tahun yang lalu
Thanks, wawasan gw semakin terbuka lagi.... :) salam