Oleh: Kristupa W Saragih (176444) 8 tahun yang lalu
Berkarya selama 30 tahun menunjukkan konsistensi sekaligus cinta pada sosok Gustra. Bernama lengkap Ida Bagus Putra Adnyana, Gustra memamerkan 30 karya di Bentara Budaya Bali, 14-22 Mei 2016.
Ada 3 kategori karya terpamer: documentary culture, composite photography dan fusion photography.
Hamparan Puja, 2019
Berbagai peristiwa dan upacara adat hadir di karya-karya Gustra. Jati diri Gustra sebagai brahmana dan pergaulannya yang luwes mempermudah Gusta memperoleh informasi dan posisi memotret yang istimewa.
Foto berjudul Tedun, dibuat tahun 2013, tampil atraktif berkat informasi dari warga pelosok Bali. Gustra juga menuturkan sepenggal cerita di balik foto berjudul Hamparan Puja, 2009, "Kalau bukan karena dibantu pedanda, pendeta Bali, saya tak akan dapat angle bagus. Orang ramai dan ini upacara suci."
Boga Sematra, 2015
Di foto Boga Sematra, 2015, Gustra menampilkan ironi. "Anjing makan dari piring sementara anak-anak Bali makan dari piring tradisional Bali anyaman rotan dan daun," ungkapnya.
Sementara di foto Gumi Luwih Ni Tanjung, 2015, tampil laki-laki perupa yang eksentrik secara kejiwaan. "Di Indonesia karya-karyanya tak dianggap, bahkan dibuang orang. Namun orang-orang Eropa justru mencari-cari lukisan seperti wajah manusia ini. Bahkan banyak galeri seni mengoleksi ya," papar Gustra.
Gumi Luwih Ni Tanjung, 2015
Melalui foto pula Gutra mengkomunikasikan kritik sosial. Foto Urai Rantai, 2011, menampilkan kaki dan tangan seseorang asal Denpasar yang dipasung orang tuanya. "Tak hanya satu dua, ada banyak orang yang dipasung keluarganya dengan alasan gangguan kejiwaan. "Mereka yang dipasung tak tampak menderita. Bahkan ada yang senyum dan tertawa ketika saya foto," ungkap Gustra.
Pada kategori composite, Gustra menampilkan kemampuannya berolah digital. Namun motivasi Gustra justru bukan berolah digital, namun memanfaatkan teknologi untuk bertutur melalui foto alias story telling.
Rekayasa Jendela, 2011
Karya berjudul Rekayasa Jendela, 2011, bercerita tentang rupa-rupa imajinasi Gustra perihal perempuan. Sementara karya Goddess of The Sea, 2011, dan Kania, 2009, bertutur tentang simbolisasi perempuan dan alam.
Ada juga karya di kategori composite yang diramu hitam putih. Karya berjudul Sekar Mekar, 2013, hasil perpaduan foto perempuan model dan foto bunga mawar.
Goddess of The Sea, 2011
Sementara di kategori fusion photography, Gustra memuaskan benak, batin dan tangannya berekspresi. Karya-karya fotografinya berpadu dengan sapuan-sapuan cat akrilik.
Di kategori ini, karya-karya Gustra tampil berbalut warna-warni yang eye-catching dan ekspresif. Pada karya berjudul Mawar Samar, 2013, Gustra menyajikan visualiasi perempuan berbalut warna biru ditimpa aliran cat akrilik putih sehingga seolah terlihat seperti tirai.
Karya yang diunggulkan Gustra berjudul Gue R Nika, Ilusi Kubisme, 2016. Hasil montase foto-foto laki-laki, perempuan dan tanduk kerbau ini diramu dengan gaya kontemporer. Tersaji hitam putih, gaya visualisasi karya ini terkesan pop-art, yang kondang di Amerika tahun 1950-an.
Berpameran di Bentara Budaya, baik di Jakarta, Jogja, maupun Bali, kudu melalui kurasi pengelola galeri seni milik Kelompok Kompas Gramedia. Keberhasilan Gustra berpameran di sini melambangkan penerimaan kalangan seni rupa terhadap fotografi sebagai karya seni.
"Saya ingin menunjukkan kepada anak muda bahwa kita bisa melakukan banyak hal di fotografi," papar Gustra merujuk pada kebiasaan anak muda selfie dan foto-foto di sana-sini. "Fotografi tak hanya soal memotret. Pameran ini menunjukkan bahwa kita bisa bermain tambahan dengan cat akrilik di atas kertas foto. Ini sebagai misal saja," imbuhnya.
"Bahkan kita bisa membelokkan perhatian anak-anak muda dari narkoba ke fotografi," ungkap Gustra, sembari menambahkan bahwa pembukaan pameran dihadiri puluhan anak muda yang berbaur dengan para pemuka seni rupa dari seluruh penjuru Pulau Dewata.