Oleh: Bambang Dwi Atmoko (54) 12 tahun yang lalu
--Topik ini telah dimoderasi oleh Igor F Firdauzi pada 08-02-2012 13:36:16-- Beberapa waktu belakangan ini beberapa kasus seputar rekayasa foto digital di media mencuat ke permukaan. Secara umum, yang melakukan rekayasa foto ini ada dua pihak. Pertama, dari pihak nara sumber atau subyek berita terutama kalangan pemerintah yang berkuasa untuk pencitraan. kedua, dari pihak penerbit atau media massa agar foto yang ditampilkan terlihat lebih bagus. Pihak yang berkepentingan demi pencitraan, estetika atau hal lainnya akan melakukan manipulasi atau rekayasa foto. Ada juga pihak yang kontra atau tidak setuju dengan rekayasa digital pada jurnalistik. Beberapa kasus mencuat diantaranya adalah foto prosesi pemakaman mendingan Presiden Korea Utara Kim Jong Il, foto suasana banjir di Korea, foto saat pejabat memeriksa jalan rusak di Huili China, foto jembatan 14th Street Bridge untuk mengenang 30 tahun tragedi kecelakaan Air Florida Flight 90 di Washington Post, foto dokumenter burung di koran Sacramento Bee, dan sebagainya. Dunia jurnalistik memang tidak bisa bebas dari rekayasa. Bahkan kalau boleh jujur, hanya sedikit media yang benar-benar netral dan independen. Selalu ada kepentingan dibaliknya. Artikel yang dibuat oleh reporter mungkin apa adanya, tetapi ketika sampai ke tangan pembaca belum tentu seperti itu. Bisa juga reporter disuruh untuk menulis sesuai dengan angle yang diminta karena maksud tertentu. Fakta bisa digunakan untuk menggiring suatu opini. Dalam fotografi jurnalistikpun, sang pewarta foto seringkali mengatur subyek atau narasumber agar tampil sesuai dengan yang diharapkan. Pada kamera diatur bokeh, white balance, kemudian dicrop, dibuat black and white dan sebagainya. Seringkali fotografer memotret tidak apa adanya. Hal ini sudah biasa dilakukan. Secara umum pengaturan pada tingkat sederhana seperti perbaikan cahaya, pengubahan menjadi black and white, dan cropping masih dianggap wajar. Walaupun ini juga sudah masuk dalam ranah rekayasa digital. Bagian inilah yang kadang membingungkan karena batasan-batasan yang kurang tegas. NPPA pada halaman kode etik menyebutkan editing harus mempertahankan integritas konten gambar foto dan konteks. Kemudian jangan memanipulasi gambar atau menambahkan atau mengubah suara dengan cara apapun yang dapat menyesatkan pemirsa atau tidak menggambarkan subyek. Kalau mengacu pada hal itu, yang dilakukan Bill O’Learry pada kasus di Washington Post tidak menyalahi kode etik. Tergantung dari sudut mana menafsirkannya. Jika masuk golongan garis keras, maka segala macam rekayasa digital apapun bentuknya tidak dihalalkan. Jika golongan moderat, maka masih memperbolehkan rekayasa digital sampai batas tertentu sepanjang tidak mengubah makna atau tampilan foto secara keseluruhan. Tapi jika golongan bebas, ya terserah saja. Kalau menurut Anda, bagaimana?