Oleh: Gregory Rusmana (14686) 14 tahun yang lalu
Sebelumnya terimakasih moderator untuk spacenya. Dear friends.. Kali ini saya akan sharing foto-foto di seputaran stasiun Purwosari Solo. Ya, hanya di seputaran stasiun kereta kecil, tua, di kota Solo, sepaket dengan perkampungan pinggiran rel disekitarnya. Adalah sebuah stasiun sereta api nomor 2 di Solo, setelah stasiun Balapan. Yang menarik adalah tidak hanya fasilitas-fasilitas antik yang masih ada, terawat, dan beroprasi di dalam stasiun, tapi juga perkampungan di sekitarnya yang juga unik dan punya cerita tersendiri. Seperti seakan tidak sedang berada di kota Solo ketika saya menyusuri rel ke timur stasiun dan kemudian menemukan "perkampungan kereta" itu. Sebelumnya kawan saya Ridha telah share foto-foto streetnya di Singapura. Berbeda dengan Ridha yang lebih menonjolkan keindahan cityscape, geometri menawan, dan arsitektur metropolisnya, saya sendiri lebih menonjolkan moment dan gesture, baik itu berupa objek maupun subjek. Bisa dibilang ini adalah Street Photography (seterusnya SP) yang sangat tradisional. Sudah kita ketahui bersama bahwa tidak bisa dipungkiri Decisive Moment-nya Henri Cartier-Bresson adalah sebuah prasasti di ranah SP. Dan seiring dengan perkembangannya, muncul banyak sub-genre dari SP yang sudah mendistorsi ajaran masa lampau itu oleh fotografer street modern saat ini. Tapi, tidak sedikit pula fotografer street yang masih berperilaku kuno, seperti saya ini. Jujur, ketika sudah di jalanan, untuk sesaat saya tidak kenal apa itu etika, yang saya tau adalah cara pandang kita sebagai eksekutor terhadap subjek yang ada di depan kita. Yah, ini hanyalah sebuah pikiran ringan dari saya, mengingat beberapa pengalaman saya mengenai etika di jalanan yang memang ada manis dan pahitnya sendiri, dan tentunya kalau berbicara soal “cara kerja†di jalanan, ini sudah sangat personal sekali. Sudah banyak pula obrolan mengenai pro dan kontra ber-mosi “etika di street photographyâ€. Ah, saya tidak akan berbicara panjang lebar lagi mengenai itu, karena itu adalah masalah yang sangat klasik dan klise, tinggal bagaimana kita menyikapinya, dan apa yang ingin kita dapatkan. Tidak jarang pula saya dipandang seperti seorang “copet†karena cara kerja saya yang frontal. Memang kejam, tapi tak sekejam jika kita masih menggunakan hati. Kalau memang sangat mendesak dan mengharuskan saya berinteraksi dengan subjek, pasti juga saya lakukan. Tapi yang pasti interaksi saya lakukan pasca pengambilan foto, bukan sebelum. Hal-hal dilematik seperti inilah yang bisa membuat adrenalin, pikiran dan seluruh tubuh saya mengencang. Inilah yang saya cari! Dan disinilah keasikan ber- SP diluar konteks foto-foto yang kita hasilkan. Dan saya rasa tidak ada cabang fotografi lain yang secara non-teknis sekompleks SP. Sepakat? Kamera analog juga salah satu unsur yang menjadi dasar belajar sekaligus menjadi kepuasan tersendiri untuk saya. Tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata, biarlah grain yang berbicara.. Tutup rapat mulut dan kedua telinga, buka lebar hati dan kedua mata. Foto 1 – 13 -----> kamera digital Olympus E-420 + lensa Zuiko Digital 25mm F2.8 Pancake Foto 14 – 29 -----> kamera analog Seagull DF-99 + lensa Seagull 50mm F1.8 + film Lucky SHD 100 Foto digital dan foto film ini saya ambil pada 2 hari yang berbeda.Foto film pada 25 Maret 2010 & foto digital pada 4 April 2010 Enjoy! :)