Oleh: Nugroho Budianggoro (1027) 15 tahun yang lalu
Tututut… tuuu tut. Tututut.. tuuu tut… Ada SMS masuk di siang itu, Sabtu pekan lalu: “Nug, ga hunting lagi?†Ini dari seorang teman, yang saya kenal lewat forum ini. Tanpa banyak basa-basi, kami pun membuat janji bertemu. Besok paginya, Minggu, 16 Agustus 2009, Wibi dan saya sudah melesat dengan kereta ekspres. Tujuan kami, suatu tempat di Bogor. Kampung Budaya Sindangbarang. Sindangbarang cukup dikenal di jagad fotografi budaya di tanah air. Kampung budaya Sunda ini populer dengan kegiatan festival adat bertajuk Seren Taun, yang mendapat sorotan dari berbagai media massa. Berawal dari festival tahunan tersebut, atas inisiatif warga dibangunlah kompleks bernuansa budaya Sunda tradisional di sekitar area festival. Kompleks inilah yang disebut Kampung Budaya. Belakangan, selain “Seren Taun†ditambah pula ritual “Adu Jaten Parebut Seeng†sebagai kegiatan rutin tahunan di sana. Hal lain yang mendukung suasana “budaya†di Sindangbarang adalah penemuan situs-situs bersejarah dari jaman kerajaan Pajajaran. Ada juga peninggalan dari jaman megalitikum. Menurut Pak Encem, pramuwisata kami, ada 59 situs di Sindangbarang. Tapi, untuk fakta-fakta ini saya pribadi memilih untuk menunggu konfirmasi lebih valid. Yang pasti, Sindangbarang telah menjadi salah satu bentuk konservasi budaya tradisional tanah air (jati diri bangsa kalau mau dibilang begitu) di tengah-tengah kultur pop yang mengiringi globalisasi saat ini. Saya pertama kali ke Sindangbarang bulan Mei 2009, menyaksikan acara Adu Jaten. Waktu itu cukup ramai, beberapa rekan FN juga hadir. Namun siang minggu lalu itu sepi. Wibi, yang baru pertama kali ke situ, tertarik memotret kehidupan manusia di kampung budaya, jadi menurutnya sepi itu malah bagus. Saya sendiri tidak ada niat khusus kecuali mengisi minggu siang sambil belajar berinteraksi dengan manusia.. hehe. Tapi, kampung budaya saat itu ternyata lebih sepi dari yang diharapkan. Pemakaian istilah “kampung†pada “kampung budaya†mungkin bisa ditinjau kembali. Ini karena dalam pandangan saya, “kampung†itu tidak hanya terdiri dari bangunan-bangunan, melainkan juga manusia yang tinggal disana beserta aktivitasnya. Sedangkan, yang kami temukan di Kampung Budaya Sindangbarang siang itu adalah bungalow-bungalow etnik yang disewakan untuk turis. Tentu saja, kampung budaya ini bukanlah vila, karena peruntukan utamanya bukan untuk penginapan, melainkan sebagai tempat menampilkan dan melestarikan budaya. Karena sepi inilah, kami memutuskan untuk mengunjungi situs-situs di sekitar Kampung Budaya Sindangbarang, dengan ditemani Pak Encem.