Oleh: Feri Latief (10508) 19 tahun yang lalu
Foto esai di bawah ini mungkin mewakili salah satu masalah kerusakan lingkungan di tanah air. Dimana program pelestarian lingkungan tidak bisa berjalan sendiri tapi harus dibarengi dengan program pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Susah memang melestarikan lingkungan di tengah takyat yang kelaparan. Kalau rakyat miskin merusak lingkungan hanya skala kecil dan tidak sistematis yang mungkin dapat kita maklumi pula. Tapi bandingkan dengan mereka pengusaha berdasi dan dibeking oknum-oknum aparat yang melakukan perusakan lingkungan dari hutan-hutan Kalimantan sampai Irian demi menumpuk kekayaan. Sebel gue!
Maklum pekerjaan itu ia lakoni sejak 25 tahun lalu saat anak lakinya, Mamad, yang juga rekan kerjanya baru lahir. Ia dan anaknya bergantian memecah batu, mengumpulkannya lalu mengangkut ke pangkalan.
Pekerjaan itu dilakukan sepanjang hari, dari pagi sampai sore dan tujuh hari dalam satu pekannya. Tak ada hari untuk berleha-leha , bahu membahu dengan anaknya ia mengarungi hidup mereka yang keras itu.
Peralatan mereka hanya palu, pahat, cangkul, pengki bambu, keranjang bambu, sepatu bot, dan kawat kasa untuk menyaring kerikil dan pasir. Kalau nasib sedang baik sehari mereka bisa mengumpulkan batu sebanyak satu mobil bak besar dan dijual seharga Rp. 70.000.
Namun umumnya mereka hanya mampu mengumpulkan batu satu mobil bak kecil, harga jualnya hanya Rp. 40.000. Hasil itu dibagi rata oleh mereka berdua. 3b
Kalau sakit mereka tidak bekerja maka penghasilan pun tidak ada. Kalau sedang sial kadang mereka mengalami kecelakaan dalam bekerja. Jari jemari terpukul palu besar sudah biasa.
Lihat saja tangan Pak Ishaq yang jari sudah bengkok tak bisa diluruskan lagi dan berbentuk pipih pada ujung jarinya karena terkena hantaman palu. Kecelakaan seperti itulah yang paling sering terjadi selain kaki atau tangan terjepit di antara batu besar yang terbelah.
Pak Ishaq dan Mamat tidak sendiri, ada tiga pasangan penambang batu lagi yang bekerja di kali Pasir Muncang, Mega Mendung Bogor - Jawa Barat. Yang paling lama adalah pak Ishaq, yang lainnya datang dan pergi. Alasan mereka bekerja sebagai penambang batu mungkin sama, tidak adanya lapangan pekerjaan lain yang bisa mereka masuki.
Tadinya mereka adalah petani, namun karena sudah banyak lahan pertanian yang berubah menjadi vila-vila mewah mereka pun kehilangan lahan garapan lalu mengangggur.
Untunglah kali Pasir Muncang dengan batu-batunya yang besar menyediakan lahan pekerjaan sebagai penambang batu, walaupun hal itu jelas-jelas merusak lingkungan.
Siang itu sebelum azan Dzuhur berkumandang Pak Ishaq dan anaknya, Mamad, beristirahat sambil menyantap bekal yang dibawanya dari rumah.
Menunya nasi putih, ikan asin, lalap dan sambal serta air teh manis. Di atas selembar daun pisang mereka menyajikan hidangan dan menyantapnya dengan lahap.
Suap demi suap dinikmati layaknya hidangan terakhir mereka. Tegukan air teh manis terdengar dari kerongkongan mereka, ah, alangkah dahaganya mereka. Sedahaga harapan mereka untuk bisa menikmati hidup yang lebih ringan dan mudah.
Mereka tak pernah berpikir panjang bahwa apa yang mereka kerjakan telah merusak lingkungan, bagi mereka bisa bekerja saja sudah patut disyukuri. Kasihan mereka sudah bekerja keras tapi tetap miskin dan merusak lingkungan pula.
Hidup bagi mereka seperti batu, amatlah kerasnya. Tapi sekeras apapun batu itu harus bisa mereka pecahkan agar bisa bertahan dari kerasnya kehidupan.
Ngurus negara memang bukan hal mudah...udah dulu ah...
Oleh: Patar Oppusunggu (973) 19 tahun yang lalu
Esainya keren banget mas. Salut deh.
Oleh: Jessica Wuysang (28887) 19 tahun yang lalu
demen liat poto pas lagi makan...bener2 asik moodnya
Oleh: Nina Marzoeki (27061) 19 tahun yang lalu
too bad... too sad... but, perut... thanks for sharing... esainya bagus...
Oleh: Petrus Suryadi (85030) 19 tahun yang lalu
Esai Foto yg luar biasa menyentuh bagi saya... Saya sendiri pernah melihat mereka membelah batu yg cukup besar dan keras, tapi penghasilan mereka sangat minimal. Apalagi kalo disalahkan karena merusak lingkungan :( Terima Kasih Mas Feri sharing foto dan ceritanya.... (Jadi pengen buat esai foto juga...)
Oleh: Putra Djohan (12182) 19 tahun yang lalu
kak feri gak pernah istirahat mencari sesuatu untuk di sharing....
Oleh: Suryo Wibowo (25088) 19 tahun yang lalu
terimakasih banget kak feri utk sharingnya... bener2 menyentuh dan bercerita...bikin terenyuh banget...kerja 20 ribu seharian...badan capek...makan nasi dan ikan asin...hmmm....
Oleh: Haryanto R (6495) 19 tahun yang lalu
wah kayanya, sekolah nya berhasil nih, thx for sharing Mas
Oleh: Igor F Firdauzi (185236) 19 tahun yang lalu
mantap BWnya mas Feri, fotonya ngganteng semua terimakasih atas sharingnya salam
Oleh: Hedi Priamajar (49168) 19 tahun yang lalu
Ma kasih untuk foto esai-nya Kak Feri. Cakep2 banget, saya suka sekali foto yg pertama dan yg siluet. Coba kalo ada foto serupa tapi skala-nya besar, lebih keliatan lagi kali yah dampak kerusakannya.
Oleh: Dhian Raharjo (11690) 19 tahun yang lalu
saya sendiri gak sanggup mengkonfrontasi langsung dilema tukang batu, pelestarian lingkungan dan perut, seperti yang disuguhkan mas Feri. setidaknya kita diingatkan, mumpung belum terjebak dalam dilema seperti yang dialami saudara2 kita itu, mari rawat lingkungan di sekitar kita. makasih sharingnya, Kak. fotonya memang tjakep2 banget.