Oleh: Feri Latief (10508) 19 tahun yang lalu
Sudah sepuluh hari lebih seluruh media menyajikan foto dan gambar-gambar yang tragis tentang Aceh. Lalu kapan kita akan meninggalkan ksedihan dan bangkit membangun kembali kehidupan? Saya mendapat e-mail menarik ini dan saya kopi di sini. Semoga memancing diskusi yang lebih serius tentang apa tujuan kita membuat foto?
This photo that appeared on the front page of The Times on Dec. 28 shocked or offended many readers. Arko Datta/Reuters Ombudsmen and public editors at papers that ran this photograph reported receiving very few objections. Folks, The writer is right. No picture tells the truth. Only the victims could tell us. The rest of us? We have our own stories. " Nothing in my experience" said Mr Colin Powell about Aceh. But did he feel the truth sorrow? From Aceh, Papua to East Timor up to Iraq we are only lied of every thing. Poriaman Sitanggang
No Picture Tells the Truth. The Best Do Better Than That By DANIEL OKRENT WO Mondays ago, the scale of the Indian Ocean catastrophe was just emerging from the incomplete earlier reports (from a Times article the day before: a tidal wave had "killed more than 150 people in Sri Lanka"). By the 4:30 Page 1 meeting, picture editors had examined more than 900 images of devastation to find the one that would stretch across five columns and nearly half the depth of Tuesday's front page. Into a million homes came a grieving mother crouched beside the lifeless bodies of tiny children [photo], and perhaps more horrifying, three pairs of feet extending from beneath a white sheet in an upper corner, suggesting the presence beyond the frame of row upon awful row of the tsunami's pitiless toll. Many readers and at least a few members of The Times's newsroom staff considered the picture exploitative, unduly graphic, and by its size and placement, inappropriately forced upon the paper's readers. Some felt it disrespectful of both the living and the dead. A few said The Times would not have published it had the children been white Americans. Boaz Rabin of Weehawken, N.J., wrote, "Lead with letters the size of eggs, use any words you see fit, but don't put a nightmare on the front page." I asked managing editor Jill Abramson why she chose this picture. She said in an e-mail message that after careful and difficult consideration, she decided that the photo "seemed to perfectly convey the news: the sheer enormity of the disaster, as we learned one-third of the casualties are children in a part of the world where more than 50 percent of the population is children. It is an indescribably painful photograph, but one that was in all ways commensurate to the event." When I spoke with director of photography Michele McNally, who believes the paper has the obligation "to bear witness" at moments like this, she had a question for me: "Wouldn't you want us to show pictures from Auschwitz if the gates were opened in our time?" The surpassing power of pictures enables them to become the permanent markers of enormous events. The marines planting the flag at Iwo Jima, the South Vietnamese general shooting his captive at point-blank range, the young John F. Kennedy Jr. saluting his father's passing coffin: each is the universal symbol for a historical moment. You don't need to see them to see them.
Even in the coverage of an event as photographically unpromising as a guy in a suit giving a speech, pictures convey judgment. When George J. Tenet resigned as C.I.A. director in June, a front page shot showed him looking down, biting his lip, possibly near tears; according to Bruce Mansbridge of Austin, Tex., at other moments during the broadcast of Tenet's speech, "he appeared quite upbeat." When Donald H. Rumsfeld visited Abu Ghraib in May, The Times showed him flanked by soldiers [photo], striding through the grounds of the prison, as if (wrote Karen Smullen of Long Island) "Karl Rove must have said, 'What we really need now is a photo of [Rumsfeld] leading soldiers and looking earnest and determined and strong.' " Did Rumsfeld pause at any point and laugh at a joke told by a colleague, or bark at a reporter who asked him a difficult question? Did any of these pictures tell the whole story, or just a sliver of it?
Mix a subjective process with something as idiosyncratic as taste and you're left with a volatile compound. Add human tragedy and it becomes emotionally explosive. The day The Times ran the picture of the dead children, many other papers led with a photograph of a grief-racked man clutching the hand of his dead son. It, too, was a powerful picture, and it's easy to see why so many used it. But it was - this is difficult to say - a portrait of generic tragedy. The devastated man could have been in the deserts of Darfur, or in a house in Mosul, or on a sidewalk in Peoria; he could have been photographed 10 years ago, or 10 years from now. His pain was universal. But the picture on the front page of The Times could only have been photographed now, and only on the devastated shores of the Indian Ocean. My colleague David House of The Fort Worth Star-Telegram says, "In this instance, covering life means covering death." The babies in their silent rows were as real, and as specific, as the insane act of nature that murdered them. This picture was the story of the Indian Ocean tsunami of December 2004 - not the truth, but a stand-in for the truth that will not leave the thoughts of those who saw it. The Times was right to publish it.
Speaking of pictures: In my Oct. 10 column, I distorted reality by not mentioning the researchers who conducted detailed studies of The Times's photo coverage of the presidential candidates. Belated thanks to Josh Hammond and Tom Holzel. The public editor serves as the readers' representative. His opinions and conclusions are his own. His column appears at least twice monthly in this section.
Oleh: Eggy Siagian (8395) 19 tahun yang lalu
maaf---- ke posting dua kali.
Untuk apa kita membuat foto olahraga? untuk apa kita membuat foto untuk/tentang perkawinan? untuk apa kita membuat foto tentang perang? unuk apa kita membuat foto tentang............ menurut saya garis merah dari jawaban semua itu pastilah sama, walau dilihat dari perspektif yg berbeda2.
Oleh: Yoni Tan (13785) 19 tahun yang lalu
Ngomong2 soal foto waktu bencana itu. Terpikir sih banyaknya mayat yang bergelimpangan terutama yang sudah membusuk. Apakah memungkinkan yah melakukan semacam "sensus" secara foto dimana korban2 itu sebelum dikuburkan secara masal itu didata satu persatu sehingga tidak membuat orang yang ditinggalkan itu bertanya-tanya apakah masih hidup / tidak ? Tentang foto diatas mungkin saya cuman merasa bahwa salah satu alasan pemilihan foto untuk cover paper Times itu karena secara spesifik banyak sekali korban kali ini yang merupakan anak - anak dan seharusnya harus dipikirkan langkah2 secara kongkret untuk penindaklanjutan hal tersebut baik dari pemerintah maupun masyarakat karena bagaimanapun saya rasa salah satu fungsi pers adalah membuka suatu realitas dan sekalian juga mempertanyakan solusinya kepada pemerintah dan masyarakat.
Eggy, esesensinya bukan ke sana. Mungkin lebih ke peran foto2 seperti apa yang bisa membangkitkan Aceh sekarang? Foto mayat-mayat yang membusuk itu atau foto mayat anak kecil di baskom?
Oleh: Deria Lexon Aritonang, Derry (11757) 19 tahun yang lalu
Hemat saya: untuk menginformasikan kekhalayak ramai, kalo bhs susahnya mewartakan. Bener gak sih.. Dari foto-foto seperti ini saya merasakan seperti dalam kepedihan yang sama dengan para korban. Berangkat dari situ muncul berbagai rasa, iba, sedih, dan akhirnya muncul keinginan untuk membantu. Tanpa pewartaan seperti itu tidak mungkin Aceh bisa mendapat respon bantuan hingga trilyunan rupiah.Malam itu saya duduk sendiri, menatap bintang dan timbul keinginan untuk makan durian monthong...ha...ha...apa kabar bang kemana aje...!
Oleh: david hermandy (3403) 19 tahun yang lalu
Jurnalis memberitakan kejadian yang sesungguhnya agar dunia tahu dan mencari jalan keluar untuk masalah itu. Harapan dari foto tragedi tentunya adalah bantuan untuk tragedi itu sendiri dan jalan keluar untuk menghindarinya di masa depan.
Oleh: Indi Soemardjan (7483) 19 tahun yang lalu
Nah itu tugas Journalist. Sekarang apakah anggota FN harus/boleh bermain sebagai Journalist juga? :) Kalau memang begitu, saya rasa syarat utama nya adalah harus bisa menulis secara informative gaya journalist terlebih dahulu supaya foto2nya bisa ada penjelasan tertulis nya yang non-biased. Gimana? Tapi omong2 Reporter dan Journalist beda lho. Jadi Reporter itu tidak sesulit jadi Journalist.
Oleh: Dhian Raharjo (11690) 19 tahun yang lalu
saya termasuk yang tidak bisa memahami mengapa foto2 mayat yang membusuk ataupun anak2 kecil yang telah mati ditampilkan sebagai point dalam sebuah foto. kondisi lingkungan yang porak poranda atau ibu2 yang menangis karena berduka sudah cukup. mayat2 boleh lah ditampilkan sekadar jadi BG tanpa detil yang menarik perhatian. tidak ada perlunya sama sekali! kecuali sekadar berusaha memenuhi rasa penasaran manusia terhadap sesuatu yang tak pernah dilihat, sesuatu yang terburuk yang bisa dilihat manusia. bukan itu cara untuk membangkitkan empati bahkan simpati manusia terhadap sesamanya.
Oleh: Ardiles Rante (1592) 19 tahun yang lalu
tentu saja hal itu tugas para photojournalist atau para reporter visual untuk merekam setiap peristiwa dan tidak terbatas, apakah peristiwa itu besar atau kecil. Serta tidak menutup kemungkinan bagi siapapun yang membawa kamera foto atau video utk merekam setiap kejadian. Saya ingin memberikan nilai positip bagi seorang jurnalis visual. 2 hingga 3 hari peristiwa tsunami yang menghantam di Aceh, titik fokus pemberitaan yang sampai di masyarakat dunia lebih berat perhatiannya di Srilanka dan Thailand, karena jumlah korban yang ribuan serta banyaknya turis " bule " yang menjadi korban di Pantai, Phuket Thailand. Lalu bagaimana kondisi Banda Aceh dan Meulaboh yang dekat dari epicenter (Pusat Gempa) ? sedikit sekali informasi visual ! baik itu berupa foto atau tayangan televisi dalam 1, 2 hari sesudah tsunami terjadi di Aceh. Lantas hari-hari berikutnya kita dikejutkan oleh foto2 dan tayangan2an televisi nasional serta media2 cetak, melihat kondisi Banda Aceh dan sekitarnya yang begitu mengenaskan dan pasti meneteskan air mata. Letak geografis Aceh, memutar dari Lhoksumawe, Malahati, Krueng Raya, Ulee Lee, Lhok Nga terus ke Lamno, Meulaboh, Calang hingga Krueng Sibei belum lagi pulau-pulau di sekitarnya adalah daerah yang dihantam oleh Tsunami yang maha dahsyat.Sebelum bencana terjadi banyak wilayah di pesisir Aceh yang cukup terisolir apalagi tertimpa bencana seperti ini. Hasil-hasil liputan dari para pewarta foto kita dan para jurnalis tv kita langsung dari daerah yang tertimpa bencana membuat mata, para penduduk indonesia bahkan dunia, terbuka dan melek. Bahkan hampir setiap negara di dunia ini mengirim wartawanya ke Aceh. Ternyata jumlah korban yang tewas sangatlah besar,jauh diluar perkiraan sebelumnya. Lantas bantuan datang, dari relawan asing dan lokal yang berdedikasi untuk menolong saudara kita langsung di tempat kejadian. Berikutnya cerita cerita baru terus berkembang. Menurut saya, itulah sedikit banyak nilai positip dari sebuah hasil liputan karya para jurnalis. Dan tidak menutup mata bagi siapapun yang memegang kamera pada saat setiap peristiwa terjadi, baik untuk di jadikan dokumentasi pribadi atau untuk dipublikasikan beberapa waktu kemudian. Salut bagi siapapun mereka, yang mendedikasikan profesinya bagi tragedy bencana alam ini. thx Ardiles Rante epa-photojournalist
Oleh: Andi Hasyim (873) 19 tahun yang lalu
"I am not a reporter and not a photographer, I am a journalist" - John G. Morris Pengen lebih tau baca buku "Get the Picture : A Personal History of Photojournalism" Atau tunggu tanggal 7 Februari, temen-temen pewarta foto di GFJA akan meluncurkan buku foto pasca tsunami untuk menggalang dana kemanusian di NAD buat ardiles kapan balik ke Bali ....
Oleh: ferry INDRAWANG (12947) 19 tahun yang lalu
QUOTED: ----------------------------------------------------------------------------------- Penulis: Indi Soemardjan (6999) Re: Untuk Apa Kita Membuat Foto Tentang Bencana ? Nah itu tugas Journalist. Sekarang apakah anggota FN harus/boleh bermain sebagai Journalist juga? Kalau memang begitu, saya rasa syarat utama nya adalah harus bisa menulis secara informative gaya journalist terlebih dahulu supaya foto2nya bisa ada penjelasan tertulis nya yang non-biased. Gimana? Tapi omong2 Reporter dan Journalist beda lho. Jadi Reporter itu tidak sesulit jadi Journalist. ----------------------------------------------------------------------------------- Sekarang apakah anggota FN harus/boleh bermain sebagai Journalist juga? apakah Seorang JOURNALIST boleh bermain di FN juga? Tapi omong2 Reporter dan Journalist beda lho. Jadi Reporter itu tidak sesulit jadi Journalist. INDI SUDAH PERNAH JADI REPORTER? ATAU JOURNALIST?