Oleh: Judhi Prasetyo. (38908) 20 tahun yang lalu
Topik ini berawal dari diskusi santai saya dan Mas Haryanto mengenai foto bergaya potret* di mana menurut saya foto seperti ini akan lebih bercerita jika didukung oleh properti atau benda lain di sekitar subyek utama (POI), atau setidaknya didukung dengan caption di kotak komentarnya. Sebelum melangkah lebih jauh, saya menyadari sepenuhnya bahwa ilmu fotografi saya masih rendah dan saya menilai sebuah foto secara subyektif berdasarkan rasa, preferensi pribadi dan pengetahuan yang belum banyak ini. Namun saya yakin tidak ada yang benar atau salah dalam sebuah karya foto karena setiap fotografer punya maksud dan tujuan sendiri-sendiri saat mengeksekusi tombol pembuka rana di kameranya. Berangkat dari definisi Potret itu sendiri menurut FN: Foto-foto dengan obyek manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan bergaya portrait yang menonjolkan unsur personality obyek foto. Dan didukung dengan diskusi (lebih cocok: artikel) yang ditulis oleh kak Feri Latief di sini: Karena foto potret selalu manusia sebagai obyeknya maka Gerakan Tubuh (Gestur) dan Garis Muka (Mimik) menjadi penting. Gestur dan mimik inilah yang membentuk cerita dalam sebuah foto potret selain seting adegannya secara keseluruhan. Untuk itu pemahaman akan bahasa tubuh menjadi hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam foto potret. Sebuah gerakan tangan yang sederhana atau sebuah tarikan garis wajah saja misalnya bisa menyiratkan hal tertentu tentang kepribadian orang yang di potret. Hal-hal sederhana inilah yang bisa menyingkap topeng manusia yang dipotret. Maka fotografer potret dituntut kepekaannya dalam membaca Gestur dan Mimik ini. Sebuah senyuman yang sinis atau pandangan kosong seseorang bisa bercerita banyak tentang orang yang dipotret. Demikian juga komentar Poriaman Sitanggang, tokoh fotografi portrait Indonesia yang dikutip kak Feri di topik ini: Mr. Poriaman bilang, setiap orang itu punya Famous Fifteen minutes, maksudnya manusia punnya sifat difensif sehingga diawal-awal perkenalan manusia berusah selalu berusaha 'jaim', jaga image. Maklum manusia perlu hidup maka 'jaim' itu bagian dari upaya survivenya. Dalam membuat potret anda tidak bisa mendatangai orang tersebut lalu memotretnya. Banyak hal yang dilakukan sebelum anda memotretnya salah satunya adalah research. Dan tugas itulah yang dibebankan kepada kami bahkan sebelum workshop itu berlangsung. Pengetahuan akan orang yang akan dipotret ternyata bekal yang penting untuk membuat potret akan orang tersebut yang akan dipotret. Ini yang sangat ditekankan oleh Pak Poriaman Sitanggang. Karena itu dalam menilai.. ehm.. menikmati sebuah karya 'portrait' saya selalu berusaha untuk menemukan cerita di balik wajah sang tokoh tersebut. Jika tidak ada yang bisa saya temukan, maka barulah saya membaca caption di bawah foto tersebut. Tidaklah sulit menikmati sebuah potret jika pemilik wajah yang terpampang kita kenal dengan baik. Entah tokoh politik, pahlawan nasional, tokoh religius, aktor, atau bintang olahraga. Namun jika saya dihadapkan pada wajah yang asing, maka secara otomatis akan mencari-cari (megira-ira) cerita tentang si tokoh tersebut, mengapa dia berekspresi seperti itu? apa pekerjaannya sehari-hari? berapa umurnya? di mana tinggalnya? apa yang telah dia alami? dsb. Jika tidak ada di dalam foto maka akan saya cari di caption. Dan tentunya akan sangat baik dan ideal jika foto itu sendiri sudah cukup bercerita tanpa harus ada caption. Bagaimana pandangan Anda? Pendapat dari teman-teman semua sangat saya hargai sebagai penambah wawasan dan pengalaman di bidang fotografi. Salam FN! *kata2 di baris ini ada yang saya ganti demi obyektifitas diskusi.
Oleh: Dhian Raharjo (11690) 20 tahun yang lalu
cuman ikut mengungkapkan yang ada di kepala sajah... soalnya saya belum cukup elmu buat urun rembug disini. kalo saya cuci mata (baca keren nya: window shoping)... puas rasanya klo barang2 yang aku lihat disertakan harganya, apalagi spesifikasinya dengan lengkap. melihat satu unit komputer yang dipajang dengan tanpa harga dan spesifikasi, rasanya kurang nikmat deh... kalo foto tentunya semua hal signifikan yang ingin diungkap sudah barang tentu lebih bagus kalo dicover dalam fotonya. kalo memang momentumnya belum berpihak pada kita untuk dapat merekam semuanya, judul dan keterangan memang sangat dibutuhkan. itu semua aku terjemahkan sebagai sharing.... (gitu kali ye.... ) :)
Oleh: Aryono Huboyo DJATI (127032) 20 tahun yang lalu
Terima kasih atas tulisannya,... nanti kalo ketemuan di rumah makan India, saya juga mau share ahhhh. Tapi,.... traktirin tandoori dulu yaaa.
Lhaa... kapan dong mau ke SG, nanti kita makan Tandoori sama-sama :)
Oleh: Rochim Hadisantosa (104553) 20 tahun yang lalu
Bila kita bertemu seseorang di jalan, atau di taman, atau di kendaraan umum, atau seraut wajah di balik jendela, saya kira kita bisa terkesan pada wajahnya tanpa tahu siapakah dia, bagaimana sifat aslinyanya - dari yg tampak, tanpa perlu tahu apa pekerjaannya, apa saja yg telah dilakukannya. Kadang dari raut muka atau ekspresi, kita bisa mengatakan dalam hati bahwa ia satu pribadi yg menarik, membosankan, menjengkelkan atau sekalipun, memuakkan. Demikian juga foto dalam bentuk potret, buatku bisa dilihat secara sederhana demikian, seperti kita setiap hari melihat wajah2 orang yg tidak kita kenal yg sekejap berlalu dihadapan kita. Tanpa saya sempat memperhatikan atau menghubungkan dengan ruang sekitar, atau apa busana dan pernik yg dia pakai dan bawa. Maka pengenalan pada sosok potret imo bisa disederhanakan pada batas kesan yg kita dapat saat memandangnya, tidak selalu diperlukan tersedia jawaban dari pertanyaan ttg "siapakah dia", "apa yg dilakukannya", dan seterusnya. Ada beribu ekspresi bisa terjadi dr kerjasama puluhan otot pd wajah, belum lagi misteri mata. Kesan yg bisa didapat hanya dari memandang seraut wajah buatku sudah berarti begitu banyak. Bila apresiasi thd potret dalam bentuk lukisan dijadikan contoh untuk membantu mengapresiasi potret dalam bentuk foto, kita tahu bhw sosok siapa dibalik potret/lukisan "Monalisa" hingga kini masih menjadi misteri dunia. Dari potret tsb kita nggak diberi informasi apa2. Tapi potret tsb dinikmati dan diapresiasi begitu tinggi, berjuta orang terpesona senyumnya, bukan hal2 lainnya, mungkin itu terjadi justru krn kita dibatasi kepada kesan langsung atau ekspresi, juga krn kita dibiarkan menafsirkan sendiri, dan bukan diajak mengenali hal2 lain2 di belakangnya (?).
Ada yg menarik mengenai siapakah Monalisa. Dr. Lilian Schwartz menemukan kemungkinan, bahwa raut Monalisa sebenarnya didasarkan dari raut pelukisnya sendiri, Leonardo da Vinci. Dr. Lillian Schwartz of Bell Labs suggests that Leonardo painted himself, and was able to support her theory by analyzing the facial features of Leonardo's face and that of the famous painting, She digitized both the self-portrait of the artist and the Mona Lisa. She flipped the self portrait and merged the two images together using a computer. She noticed the features of the face aligned perfectly!
Oleh: Haryanto R (6495) 20 tahun yang lalu
Yupe, saya setuju sekali dg mas Rochim, itulah seni melihat potret
Terimakasih atas pencerahannya. Mudah2an banyak teman-teman lain di sini yang bersedia menuliskan buah pikirannya.
Oleh: Kristupa W Saragih (176444) 20 tahun yang lalu
Seseorang yang bisa berakting, misalnya pemain teater, yang tampil dalam foto bukan sebagai diri aslinya menurut saya juga bisa dikategorikan sebagai foto potret.
Yah, mungkin saya saja yang masih belum bisa mengapresiasi sebuah potret. Seperti halnya jika saya tunjukkan lukisan Monalisa kepada nenek saya di sebuah desa kecil di Wonosobo sana, mungkin tanpa banyak tanya beliau hanya berkomentar "yo wis... apik.." :)
Hmm.. setelah diinget-inget dan dilihat kembali, foto ini sangat bergaya potret menurut saya. Serius!
Oleh: P. Theodor Sudarja, THEO (2831) 20 tahun yang lalu
Kristupa: pernyataan anda; memancing nih! :-? Yang penting bagi saya; Setiap foto harus memliliki emosi. Emosi; Sesuatu yang ingin disampaikan. Dan foto adalah media penyaluran emosi. Dari foto itulah fotografer berharap, orang lain dapat mengerti apa ynag dirasakannya. Dan emang pesan itu harus sampai lho! Kalo belum bisa sampai belum bisa dikatakan foto yang baik dan memiliki emosi. Sebuah foto potrait TIDAK harus menggambarkan orang yang sebenarnya. Jika foto aktor. Seorang yang berakting di luar kepribadiannya. Nga masalah, yang penting orang bisa menangkap kesan, pesan, dan emosi, yang mau ditampilkan oleh aktor atau fotografer itu. Nah… Itu dia, manfaatnya benda PENDUKUNG di sekitar obyek. Segala benda yang dan alam sekitar yang berinteraksi dengan obyek pasti akan MEMBANTU memperkuat makna, arti yang ingin ditampilkan. PERLUKAH PROPERTY YANG MENDUKUNG? Tergantung; potrait seperti apa yang mau ditonjokan, pribadinya atau emosi dari aktor? Kalau yang mau ditonjolkan hanya emosi; saya kira mimik wajah saja sudah cukup mendukung. Lain halnya jika menitik beratkan pada pribadi… secara keseluruhan; gaya hidup, hoby, sifat, karier profesi. mungkin diperlukan benda lain di sekitar obyek. Maksudnya kalo foto presiden pasti ada bendera negara? Kalo foto seorang pemburu pasti ada senapan, ada kepala rusa, atau korban buruannya yang lain? Sekali lagi Sebuah foto potrait TIDAK harus menggambarkan orang yang sebenarnya. Yang penting obyek kita mau kita tampilkan seperti apa. Dalam konteks orang terkenal atau tidak. Kalo foto seorang richard sam bera, berpose di depan meja studio metro tv. Dapat dipastikan saya tidak tahu kalau dia itu atlit renang pro di indo. Malah saya kirain dia itu seorang pembawa acara terkenal. Sekali lagi saya sangat setuju dengan suasana pendukung; kostum mungkin? Terus juga gesture. Juga postur menurut saya. Sekali lagi; jika seorang richard sambera yang mau digambarkan sebagai perenang profesional, ditampilkan dengan postur tidak mendukung; misal seperti fotonya alex. Saya juga tidak akan mempercayai jika di caption tertulis “atlit renang”. :)) Tentunya juga diperlukan suasana dan pose yang medukung. Berarti orang yang tampil polos (nude) adalah orang yang jujur dan tidak dibuat-buat? Mengambarkan pribadi sepribadi-pribadinya? Orang botak juga sering dikatakan sebagai orang yang tampil jujur. karena tatanan rambut adalah hasil budaya. “orang yang tampil nude dan botak adalah orang yang bisa dieksplorasi emosinya sedalam mungkin???” :)>- PERLUKAH CAPTION? Apakah persepsi antara fotografer dengan orang lain akan selalu sama? Tidak. Karena itu mungkin diperlukan caption. Jadi menurut saya; tujuan caption itu dibuat untuk menyamakan persepsi, antara penikmat karya seni dengan seniman itu sendiri agar bisa nyambung. Membantu orang lain untuk lebih mengerti apa yang ingin disampaikan. If a picture speak a thosand words… How if a picture saw by a thousand people? It will be doubled by a thousand. Yap… ribuan kata2, dan persepsi dari tiap2 orang itu berbeda2. berbeda karena: Latar belakang budaya, lingkungn, pendidikan, status sosial, dll Judhi: “setiap fotografer memiliki maksud yang mau disampaikan ketika menekan bukaan rana”. Yang menjadi masalah di sini adalah what If a picture speak a thosand words… Bagaimana caranya agar maksud yang mau disampaikan itu sampai pada orang yang melihat karyanya. Ketika mengamati suatu karya seni, baik itu lukisan maupun foto, terkadang saya agak tertegun sesaat. berusaha memahami suatu karya foto yang terpampang di hadapan saya. Biasanya pada awalnya saya memang melihat karya foto itu secara keseluruhan. Beruhasa mendapatkan suatu arti atas respon visual. Kemudian dengan menebak2 berharap apa yang saya pikirkan sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh sang fotografer, yaitu dengan membaca judulnya. Jadi bagi saya judul adalah “hints” bocorannya… begitu lho Tapi pemberian caption itu juga terserah dari senimannya (fotografer) juga sendiri lho. Kadang, justru seniman tidak memberikan caption, bahkan judul sekalipun. Hanya untuk memberikan kebebasan yang sebebas2 nya untuk menemukan makna sesuai pribadi yang bersangkutan. Kalo nga salah saya pernah dengan ada pameran lukisan atau fotografi gitu, yang tanpa judul semua “untitled” jadi proses kreatif menemukan maksud tujuan diserahkan kepada pengunjung. (itu kalo nga salah saya ingat) ya maaf kalo salah… [-o
:O ...... thanks berat kak! =D>
Oleh: susilo w. (50869) 20 tahun yang lalu
Waduh.... ilmu kelas berat, thx for sharing kakak2 semua....
waaa.... bahagia. terimakasih.
Oleh: Indi Soemardjan (7483) 20 tahun yang lalu
preferensi dan difensif itu apa ya, mas Judhi? mimik cucu? algo suka. dicover dan signifikan itu apa ya, mas Dhian?
Bagaimana dengan potret orang ini? Ada yang bisa mengira-ira siapa dia? apa profesinya? umurnya? apa makna senyumnya?
itu dia... potret seperti ini bagi saya tak lebih seorang bapak yang tersenyum karena difoto. lain halnya dengan hadirnya papan tulis di BG... maka si bapak adalah seorang figur Umar Bakri... :) Mengapa kak IS Gemar Makan Batere?... :)) maap nyeleneh.. kak IS sih yang mulai duluan tuh.
Dhian betul, mungkin dia sekedar seorang Bapak yang tersenyum karena difoto. Tentu ada cerita di balik foto ini, sebuah cerita serius yang mungkin di masa depan bisa punya nilai sejarah, seperti yang disampaikan oleh Mas Feri di topik Mengapresiasikan Sebuah Foto.
bagi fotografernya mungkin punya makna lebih dalam dari apresiasi yang dapat aku ungkap. disitulah perlunya atribut lain agar bisa --sekali lagi-- "sharing" makna yang ingin disampaikan fotografernya. kecuali memang tidak untuk berbagi atau hanya dinikmati sendiri saja pengalaman batinnya. pengecualian....foto "senyum dian sastro" gak boleh ada BG dan atribut lain, bahkan inisial fotograferpun bisa mengganggu :)) nah loh... niatnya becanda, tapi jadi masalah juga. kenapa pengecualian itu ada? kenapa aku perlu atribut lain untuk mengapresiasi sebuah potret, sedang potret dian sastro tidak perlu apapun untuk dapat menikmatinya?
Kak Dhian, soal potret Dian Sastro itu karena judulnya pun sudah memberikan informasi berharga: Dian Sastro. Walaupun tadinya saya belum kenal siapa itu Dian Sastro (sejujurnya lho), saya akan berusaha mencari tahu. Dari hasil simple search di Google.com ternyata saya dapat banyak cerita, dan cerita itu sangat membantu untuk memahami apa yang ingin disampaikan sang fotografer yang membuat potret Dian Sastro.