Oleh: susilo w. (50869) 20 tahun yang lalu
Kakak2, tolong dong dijelaskan dengan sejelas-jelasnya mengenai batasan tentang foto yang masuk kategori jurnalistik. Maklum masih buta neh... apabila pertanyaannya ditafsirkan memalukan mohon maaf dan thread ini dihapus aja.
Oleh: Guewin_WY ( Wiwin Yulius ) (103497) 20 tahun yang lalu
Maap kalau jawabannya kurang pas mungkin yg senior bisa menambahkan : Untuk yg disebut Foto Jurnalistik saya banyak mencontoh di Koran saja, terutama langganan saya Kompas .. ( He he he he ). Yang saya ketahui sebuah foto disebut foto jurnalistik jika foto itu dibuat sebagai pemberitaan, dimana dalam teks foto tersebut harus dijelaskan kegiatan apa, kapan, dimana atau mungkin bisa menggambarkan prinsip 5W : What, Where, When, Why, Who ... ( Bener ngga nih :) ) btw : Thank's buat kak Kris,... karena forum terkahir yang saya tulis adalah Jurnalistik ( Busway ) dan saat itu mendapatkan beberapa tanggapan dan hari ini sudah dipenuhi oleh LetJen ... Terima kasih ... terima kasih
Oleh: Kristupa W Saragih (176444) 20 tahun yang lalu
Saya mengutip dari penjelasan tentang kategori foto Jurnalistik untuk diupload ke FN yang bisa dibaca di Kategori Foto: Foto-foto yang dihasilkan oleh jurnalis foto dalam melakukan tugasnya, dan non-jurnalis foto yang merekam peristiwa-peristiwa (jurnalistik). Sejelas-jelasnya tidak berarti harus sepanjang-panjangnya dan semembingung-bingungkannya, menurut saya lebih baik singkat, padat dan jelas.
Kita juga harus lebih rajin menggunakan fasilitas Cari Topik. Dengan menggunakan kata kunci "foto jurnalistik" saya menemukan banyak topik yang berkaitan dengan foto jurnalistik. Tapi ada 2 yang relevan dengan pertanyaan Jeng Susi:Definisi yang Benar untuk Foto Jurnalistik dan5W 1H pada Fotografi Dan,ternyata Jeng Susi sudah pernah me-reply salah satu topik tersebut. Yang berarti pula, Jeng Susi sudah pernah membacanya (kalau sudah pernah me-reply-nya). Silakan lebih aktif memanfaatkan fasilitas Cari Topik. Atau kalau boleh mengingatkan, sebaiknya gunakan fasilitas Cari Topik sebelum membuat sebuah topik atau memulai thread.
Oleh: D. Setiadi (81319) 20 tahun yang lalu
Jeng Susi ternyata pemalu ya....;;)
Oleh: Wiratno (11293) 20 tahun yang lalu
Mungkin ada gunanya tread yang pernah saya tanyakan ini Jeng Sus mohon pencerahan foto jurnalistik Tetapi memang belum puas seh... apa yang disampaikan Kakak-kakak Senior. Salam
Wah... maaf ya kakak2 semua... tadi pagi begitu lihat ada pengumuman bahwa telah dibuka forum yang baru tentang jurnalistik jadi tergelitik jari2 saya untuk membuat thread yang baru dan sekalian bertanya tentand definisi foto jurnalistik. Mungkin saya lupa pernah mereplay thread yang sama diwaktu yang lalu... maaf. Dan juga kan tadi forum yang ini masih kosong.... kalau begitu ditutup aja kak... atau digembok aja deh.... Maaf ya...
Oleh: Arbain Rambey (103716) 20 tahun yang lalu
Berikut tulisan saya di FOTO MEDIA....semoga berguna..... Foto Jurnalistik, Gabungan Gambar dan Kata BISAKAH Anda membayangkan halaman koran yang tanpa foto satu pun ? Memang seakan sudah menjadi “tradisi” bahwa foto harus ada di koran terutama di halaman pertamanya. Selain untuk mempercantik perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri. Berita tulis dan berita foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Sebagai gambaran, untuk menceriterakan besarnya pengangguran dalam bentuk angka-angka, jelas berita tulis lebih tepat untuk dipakai. Tetapi untuk memberitakan seperti apa indahnya sebuah tempat atau secantik apa wajah seorang bintang sinetron, jelas foto yang lebih bisa “berbicara” daripada tulisan. Walau begitu, foto jurnalistik usianya jauh lebih muda daripada jurnalistik tulis. Huruf sudah dikenal manusia ribuan tahun yang lalu sementara usia fotografi sendiri belum sampai 200 tahun. Di awal abad belasan, di Inggris sudah dikenal surat kabar. Tapi foto grafi baru masuk surat kabar pada akhir abad 19. Persoalan mengapa foto jurnalistik tertinggal dari jurnalistik tulis semata karena masalah teknologi. Setelah fotografi ditemukan pada pertengahan abad ke-19, terknologi cetak belum bias membawa foto ke Koran. Yang terjadi adalah, foto sebuah kejadian dijadikan berita dengan cara digambar ulang ke sketsa. Sketsa inilah yang lalu dibawa ke mesin cetak. Surat kabar pertama yang memuat gambar sebagai berita adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar berita pertama itu tentang sebuah peristiwa kebakaran. (Foto 1). Sejalan dengan kemajuan teknologi cetak, akhirnya foto pun bias ditransfer ke media cetak massal. Foto pertama di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton (Foto 2). Demikianlah, foto jurnalistik memang masih seumur jagung dalam dunia jurnalistik secara umum. Namun perkembangannya sangatlah cepat bahkan kini kita sudah memasuki fotografi digital. Dengan fotografi digital, teori-teori fotografi lama masih banyak yang berlaku. Cara pemotretan dan teori pencahayaan tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah prosesnya. Kalau dulu film perlu dicuci terlebih dahulu, lalu diperlukan proses mencetak untuk mendapatkan gambarnya, kini begitu tombol rana selesai dipijit selesailah fotonya. Kini tidak diperlukan lagi jasa pos atau kurir untuk mengirimkan foto. Seorang fotojurnalis bisa mengirim fotonya lewat telepon genggam yang dibawanya ke medan perang. Sebagai gambaran, pada Piala Dunia Sepakbola 2002 lalu, begitu sebuah gol terlihat tercipta dari siaran langsung televisi, lima menit kemudian foto gol itu dalam bentuk data digital sudah sampai di meja redaktur foto Koran-koran di seluruh dunia. Tulisan di FOTO Media ini diarahkan ke berbagai hal terbaru tentang foto jurnalistik namun hal-hal yang menyangkut fotografi konvensional masih diberi tempat selayaknya karena bagaimana pun masih dipakai juga. Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini. Wilson Hicks memang tidak pernah memotret tapi lewat ketajaman intuisinya dan kepemimpinannya lahirlah fotografer-fotografer kelas dunia seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa dan beberapa lagi. Dari Hicks pulalah lahir dasar-dasar foto jurnalistik. Apa itu foto jurnalistik ? Wilson Hicks menjawab dengan teorinya yang terkenal: “Foto jurnalistik adalah gambar dan kata.”. “Kata” dalam foto jurnalistik adalah teks yang menyertai sebuah foto. Kalau berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What Where When Who Why dan How), demikian pula foto jurnalistik. Karena tidak bisa keenam elemen itu ada dalam gambar sekaligus, teks foto diperlukan untuk melengkapinya. Seringkali, tanpa teks foto, sebuah foto jurnalistik menjadi tidak berguna sama sekali. Sebagai contoh adalah Foto 3. Tanpa diberi keterangan tertulis, foto itu semata gambar anak kecil menimang kucing dan tidak “bicara” lebih jauh lagi. Sebenarnya, foto itu adalah rekaman peristiwa banjir yang melanda Kota Medan akhir tahun 2001. Sebuah desa tergenang banjir, dan banyak ternak mati terbenam air. Sementara semua orang sibuk menyelamatkan harta yang masih bias diselamatkan, anak kecil ini justru sibuk mencari kucingnya. Saat ketemu, ia girang bukan kepalang. Sebuah peristiwa human interest yang kental. Tanpa teks, sisi terdalam dari foto ini tidak muncul. Sekali lagi, penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Suatu ketika kita membaca sebuah surat kabar, yang pertama kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya. Foto halaman pertama sebuah surat kabar adalah elemen terpenting untuk “menjual” edisi surat kabar di hari itu. Kelebihan Foto Seperti sudah disinggung di atas, pada hakekatnya foto punya kelebihan dibandingkan media oral. Selain mudah diingat, foto juga punya efek lain yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan “efek bayangan” yang lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihatnya. Karena itulah sebuah foto yang tidak menarik bagi seseorang pembaca, mungkin justru sangat menarik bagi pembaca lain. Sebagai contoh, foto olahraga American Football yang sangat bagus mungkin sangat menarik bagi pembaca di Amerika Serikat. Tapi bagi sebagian besar orang Indonesia, foto ini dilirik pun mungkin tidak. Selain itu, untuk membuat foto yang menarik, kita harus membuat orang merasa mendapatkan sesuatu yang baru dari foto yang dilihatnya. Foto pembukaan sebuah seminar umumnya adalah foto orang memukul gong. Maka, di Indonesia, foto orang memukul gong sama sekali sudah tidak menarik lagi sebesar apa pun seminar yang menyertainya. Karena itu, ada sebuah pedoman penting yang harus diingat saat membuat sebuah foto jurnalistik. Pedoman itu tertuang dalam ucapan fotografer Majalah LIFE Co Rentmeester yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970-an. Pada suatu ceramahnya, Rentmeester berkata,” Buatlah foto yang lain daripada orang lain.” Petunjuk Rentmeester itu sangat tepat, apalagi untuk saat ini dimana foto jurnalis di Indonesia sudah sangatlah banyak. Pemilik kamera juga sudah tidak terhitung banyaknya. Kalau kita membuat foto yang sama dengan orang lain, sama sudut pengambilannya dan sama pula jenis lensanya, maka foto kita bisa dikatakan “datar” dan tidak menarik. Perlu bagi seorang foto jurnalis untuk banyak-banyak melihat karya orang lain sebagai perbandingan dalam berkarya. Melihat karya orang lain, terutama melihat karya-karya yanag menang dalam sebuah lomba foto, kadang-kadang disalahartikan sebagai cari bahan untuk meniru. Padahal tidaklah demikian. Melihat karya orang lain membuat kita punya gambaran “kelas” persaingan saat ini, juga punya gambaran umum akan baik buruk sebuah foto secara utuh. Pada orang yang berpikir terbatas, melihat karya orang lain memang membuatnya meniru angle dan gaya. Kreativitas sangat dituntut dalam kerja foto jurnalistik. Untuk memberikan gambaran tentang kreativitas, mungkin kita masih ingat ceritera tentang pengeliling dunia Columbus yang ditantang untuk mendirikan sebuah telur ayam di atas meja. Saat Columbus memecahkan sedikit kulit telur untuk bisa membuatnya berdiri, orang lalu berkata,” Ah, saya pun bisa.” Padahal, sebelum Columbus memecahkan telur itu, siapa pun mungkin tidak berpikir sampai ke situ. Demikian pula dalam fotografi. Kalau kita melihat sebuah angle foto yang bagus, kita mungkin berpikir,”Apa sulitnya membuat yang begitu.”. Padahal, kalau belum ada foto itu, belum tentu kita bisa membuat yang demikian.(kr/arb)
Waduh... indah sekali kak... makasih kak Arbain....
Oleh: Agus Herdian (2945) 20 tahun yang lalu
tulisan Kak Arbain sangat berguna.
Oleh: Elvin Nasabandhi (2502) 20 tahun yang lalu
Wah.. wah.. makasih.. makasih.. Om Arbain.. btw, gimana klo tulisan itu copy ke artikel juga Om? biar teman2 lain juga dapat pencerahan...
Oleh: Ali Lutfi (2099) 20 tahun yang lalu
bang arbain sedikit koreksi nih, abang nulisnya bisa kok ditulis bias sih. koreksi aja yah bang.
....Ah Ali...kau bias aja......he he he....
Oleh: Andi Lubis (14072) 20 tahun yang lalu
arbain......