Oleh: ABBO simanjuntak (2086) 21 tahun yang lalu
Seorang tukang foto keliling, tinggi kurus, berambut kribo dan berkacamata tebal, pernah berujar di telinga saya. “elu pengen bisa bikin foto bagus? elu kudu tau dulu foto bagus itu yang kaya apa!” Ujarnya sambil melihat kepinggang kanannya. Sebuah alat penyerantara yang tergantung disitu berbunyi…tii..ditt...tii…diitt..(masih ada gak yah tuh barang?). Peristiwa ini terjadi dahulu, disaat roll film pertama saya pun belumlah saya habiskan. Sejak hari itu, pertanyaan atau pernyataan tersebut terus menggantung di benak saya, hingga hampir setahun lamanya. Saya terus mengembara dari satu galeri ke galeri yang lain, mengumpulkan majalah-majalah bekas, dan memperhatikan poster-poster di jalanan. Pokoknya setiap ada foto entah dimana atau di media apa saja, saya akan berusaha mengamatinya dan bertanya dalam hati,”Foto ini apanya yang bagus, yah…? Kok bisa dipasang disini?”. Terkadang saya bingung ketika menemukan sebuah karya/foto yang saya anggap sangatlah jelek, tapi dipamerkan di sebuah galeri hebat. Anehnya lagi, sang fotografer, juga seorang kampiun di dunia fotografi. Walau tak jarang juga, saya menemukan foto yang membuat saya berdecak kagum. Kalau dipersentasikan, selama masa pencarian saya terhadap jawaban tersebut (makna foto bagus) kira kira 50 banding 50, antara foto yang saya anggap JELEK dan foto yang saya anggap BAGUS. Tapi pada kenyataannya, semua foto-foto tersebut (yang kadang saya anggap jelek) adalah foto yang “terpakai”. Lalu mulai dari situ pulalah, saya mengalami semacam evolusi dalam cara menjepretkan rana kamera dan memilih objek. Pada fase pertama, saya menyebutnya sebagai fase EKSTRIM, karena saya begitu mengagumi keindahan dan sekaligus ketidakindahan (menurut saya waktu itu, inilah objek-objek foto yang paling bagus). Ya….langit biru, matahari tenggelam, wanita cantik, taman asri, danau tenang, pemukiman kumuh, kali berlimbah, pengemis, tumpukan sampah, bangunan lapuk dan lain sebagainya Lalu di kemudian bulan, saya bertemu kembali dengan si tukang foto keliling tadi. Dengan bangga saya menyodorkan “foto-foto bagus”, hasil jerih payah hunting sekian lama padanya, tentu dengan harapan akan mendapat pujian. Tidak terduga, si tukang foto keliling ini hanya melihat sampai halaman ke 3 dari bundel port folio saya yang berhalaman hampir 100 lembar. Dia lalu menutup dan sembari mengembalikan bundel tersebut dia berkata,”Apa istimewanya foto-foto lu ini…?, sunset dengan warna warni di langit itu kan emang udah indah, anak kecil mandi di kali berbusa itu, kan emang udah menarik, cewe yang pakai bikini itu kan emang juga udah cantik dan sexy… trus lu tampilin lagi semuanya di foto lu, seperti aslinya. Sama aja kaya nerjemahin novel bahasa inggris ke bahasa Indonesia kan?!…lu tinggal beli kamus lengkap, selesai. Kreatif dong!, ciptain hal biasa jadi menarik, dan hal menarik jadi unik, jangan cuman ngerekam aje!”. Sekali lagi, tepat saat dia mengakhiri celotehannya, penyerantara di pinggangnya kembali berbunyi….ttiiit…diittt…..tiii…dddiittt. lalu dia pamit, meninggalkan saya yang masih tercenung dengan sebuah kontemplasi baru lagi menyemak di dasar benak Berbekal kontemplasi baru tadi, saya sampai pada fase kedua, saya menyebutnya fase BERPIKIR. Pada fase ini saya tidak lagi tertarik dengan objek-objek seperti pada fase ekstrim. Saya lebih konsentrasi untuk bereksplorasi dengan teknis dasar fotografi (fungsi diafragma, shutter speed, efek lensa, filter dll) yang sudah mulai saya mengerti dan kuasai. Sedangkan objek yg saya pilih jadi lebih kepada benda-benda mati, dengan konsentrasi grafis. Seorang tukang foto keliling lainnya, yang berjanggut uban dan pernah didiskualifikasi dari sebuah lomba foto bergengsi di negri ini, karena diperdebatkan melakukan plagiat, menyebut konsentrasi saya tersebut dengan ELEMEN DISAIN. Pada fase ini pulalah saya mendapat satu kesempatan untuk memamerkan beberapa karya/foto dalam sebuah pameran bersama. Belum selesai gemuruh kebanggaan di dada saya, karena akhirnya beberapa karya/foto saya terpublikasikan, kembali saya bertemu dengan si tukang foto keliling yang kribo tadi. Didalam ruang pamer tersebut. Dengan sedikit deg deg-an, saya menghampirinya dan memintanya melihat ke salah satu sekat, dimana karya/foto saya digantungkan. Saya mengambil posisi tepat disampingnya, ketika dia memperhatikan karya/foto saya tersebut. Benak saya penuh dengan pertanyaan, apa kira kira komentar dari si tukang foto itu. Dan seketika saya melambung saat dia berujar,”bagus…!”. Saya langsung berpikir saat itu bahwa saya telah berhasil, pencarian saya telah berakhir….tapi, hanya sekian detik dari ucapan atau pujiannya itu, kembali dia berujar,”Tapi dimana muatan realitasnya??, kreatifitas tanpa realitas sama seperti susunan abjad dari A-Z. Bermacam macam kemahiran orang untuk menghias dan menciptakan karakter huruf yang indah. Tapi se-kreatif apa pun si pembuat huruf itu, kalau toh, ntar dia cuman menyusun urutan abjad tersebut dari A-Z doang,….tanpa menjadikannya sebuah kalimat yang berarti….gak ada nilainya itu” Saya terdiam beberapa saat. Entah kenapa,yang terlintas dalam benak saya ketika dia menyebutkan kata “realitas” tadi, adalah JURNALISTIK. Dan saat itu pula saya sadar, bahwa si tukang foto keliling tadi sudah keluar dari ruang pamer Kembali saya merenungi lagi ucapan si tukang foto keliling tadi, dan akhirnya saya mengambil keputusan yang membawa saya pada fase ke tiga, yaitu fase BERPIKIR CEPAT. Saya mulai menyimpan segala macam filter, mengganti lensa fix saya dengan lensa zoom (wide dan tele), menjual tripod dan menggantinya dengan sebuah Flash Dan mulailah saya melangkahkan kaki ke aspal terik jurnalistik fotografi. Berbaur dengan gas air mata, desingan batu yg lewat di depan lensa, konsentrasi terganggu hardikan hardikan, ruang berpendingin nan sejuk dan makanan kelas hotel berbintang saat press confrence, dan banyak hal lainnya, membuat saya bangga dan bersyukur bisa masuk ke dunia jurnalistik dengan segala macam previlese-nya. Setelah saya merasa cukup punya karya/foto andalan pada fase ini, saya coba memberanikan diri mendatangi si tukang foto keliling tadi ke rumahnya. Sebuah karya/foto saya yang berisi momen seorang demonstran sedang di injak injak tentara, sengaja saya cetak besar (10R). Dengan pertimbangan bahwa semakin besar imaji yg saya perlihatkan akan semakin menarik tentunya. Perasaan saya tak menentu ketika dia memperhatikan foto saya sekian lama, lalu tiba tiba tertawa keras. Dia bertanya,”Apa yang lu banggakan dari foto elu ini?”. Setengah ragu ragu saya menjawab, bahwa saya bangga dengan karya/foto tersebut karena saya bisa menangkap momen kekerasan itu tepat waktunya. Saya berpikir ada pertimbangan decisive moment disitu yang menjadi nilai plus. Lalu dia berkata lagi,”Elu percaya gak?, kalau supir tetangga gue yang baru saja beli kamera poket seharga 50 ribu kemaren sore, bisa juga dapetin momen kaya gini, kalau dia saat itu ada disana”. Muka saya merah, darah serasa naik semua ke kepala. Kecewa, kesal, bingung semuanya mengkristal, dan si tukang foto keliling ini sepertinya bisa menangkap gelagat tersebut. Dengan nada sedikit membujuk dia berkata lagi,”Gini, sama seperti saat pertama kali elu datang ke gue, dengan foto foto indah dan tak indah elu dulu itu…ya sama kaya ini,…sekarang ini…apa bedanya? Momen ini -sambil dia menunjuk ke karya/foto saya- emang udah menarik, udah fantastic…elu potret pake apa aje ya hasilnya jadi menarik tetap fantastic,…elu mau potret dengan cara apa aje, mau nungging mau apa kek…tetap jadi menarik, karena sudah menarik, bisa nangkep gak?”. Saya mengangguk walaupun masih belum tercerna semua omongannya. “ini kejadian gue inget banget.” Lanjutnya, sambil menyebutkan tanggal dan hari kejadian, saat dimana saya memotret momen tersebut. Dia berkata lagi,”Elu tau gak,….besoknya sesudah kejadian ini, semua ha-el (headline-red) foto di seluruh koran nasional, khususnya di Jakarta….persis fotonya kaya punya elu ini…..terus sekarang elu masih bangga juga sama foto ini?” untuk kesekian kalinya saya terdiam di depan tukang foto keliling ini. Ketika saya menyetop sebuah bis kota, dari depan rumah si tukang foto keliling tadi untuk pulang ke rumah, benak saya kembali di penuhi dengan kilas balik pertanyaan dan pernyataan si tukang foto keliling itu. Menyeruak satu per satu, silih berganti dengan teriakan kondektur ;
Oleh: Gladia B. (7718) 21 tahun yang lalu
i think i need one month to digest this.. :)
Oleh: Janu Dewandaru (15437) 21 tahun yang lalu
Waaah!!....tulisan seBAGUS dan seDALEM ini rasanya sangat layak utk diabadikan juga di forum artikel deh! Langsung aja pake judulnya yg sekarang ini. Mo nanggapinnya juga harus mikir dan perlu kontemplasi dulu nih he..he.. salam:)
Oleh: Andi Lubis (14072) 21 tahun yang lalu
Abbo, tulisannya keren... aku sampe harus nge-print itu dan baca sambil makan siang...
Maaf...beribu maaf...sekali lagi maaf, bukannya saya menolak pujian. Tapi niat saya mengirim tulisan ini di forum (bukannya ke artikel) adalah agar bisa menjadi perbincangan yang menarik,...hehehehehe salam damai:)
Oleh: D. Setiadi (81319) 21 tahun yang lalu
Abbo, terima kasih atas tulisannya. Walaupun mata ini agak berkunang-kunang karena ngebacanya...( panjaaaaang bo....), terus terang belum sampai habis. Saya pribadi suka dengan " Simplicity " dan juga kata " Less IS More " dalam fotografi. Saya suka foto yang kreatif dan simple. Memang selera dan pendapat setiap orang itu berbeda-beda dalam menghargai dan menilai suatu foto. Saya sendiri cukup heran dengan salah satu foto saya yang terpilih sebagai foto pilihan editor. Padahal saya sama sekali enggak bermimpi atau menyangka kalau foto itu terpilih. Padahal foto itu hanyalah sebuah atap restauran berwarna dan langit. Saya memang terinspirasi ( bukan plagiat loh.. )dengan karya pelukis abstrak Piet Mondriaan, yang sangat sederhana dan warna-warna yang diciptakan. Saya juga berterima kasih kepada rekan sekalian atas komentarnya atas foto saya tersebut. Saya masih merasa foto tersebut tidak layak utk terpilih. Kenapa? karena saya lihat masih banyak foto-foto hebat dan indah ( menurut saya ) yang lebih pantas utk terpilih ketimbang foto saya itu. Abbo, kamu sempat ngeliat foto-fotonya si bapak itu enggak? Keep shooting, be yourself and be creative!
Oleh: Adrian A. (8991) 21 tahun yang lalu
Aduh, mata udah berair waktu baca postingan pertama, eeh.. ternyata ada yang lebih rapih lagi di bawahnya... :):) Singkatnya, tulisan seperti itu bisa muncul kalo si penulis udah melalui perjalanan yang cukup panjang sampai pada tahap yang sekarang. Entar deh perbincangannya, dicerna dulu Bang! Salam buat si Kribo berkaca mata tebal!! :))
Oleh: Jessica Wuysang (28887) 21 tahun yang lalu
bang...mata saya sampe keriting baca'nya..btw, renungan abang kali ini sangat sangat sangat menarik untuk direnungkan. sebelumnya mohon maaf sekali saya sebagai pemula ikut serta dalam forum kali ini tp saya tertarik u/ menuangkan unek2 yang ada. suatu hal yang selama ini saya cari2...kira2 bikin foto yang kayak gimana sih yang bisa dikatakan menarik bagi semua orang yang melihat, yang gak terkesan monoton dan terlalu terikat dengan aturan2 baku..jujur sejujur2nya saya bosan dengan foto2 yang selama ini saya buat, saya jenuh karna kemampuan saya gak berkembang dan hanya disitu2 doang...saya bersyukur banget kalo foto2 saya yang ada sekarang ini bisa dinikmati oleh orang yang melihatnya tp saya gak puas dan gak menimbulkan rasa bahagia memiliki foto2 itu, karna menurut saya...foto2 yang ada dibandingkan o/ foto2 orang lain jauh banget perbedaannya, kemampuan saya masih di bawah standard. saya berterima kasih banget atas support2 dari bang abbo juga dari yang lain...yang terus mendukung saya u/ terus belajar dan gak hanya terpaku pada 1 pakem aja...cuman bang, kayaknya sampe saat ini saya belum menemukan apa yang dapat saya hasilkan...masih terus dalam pencarian. mungkin ulasan saya kali ini terkesan naif tp itulah yang ada di diri saya sekarang...suatu kebingungan. anyway..segitu aja deh, salam damai...
Oleh: Danil Morad (2312) 21 tahun yang lalu
saya sebagai orang yg masih awam dalam fotografi terus terang merasa kurang sepaham dengan tukang foto keliling tsb. Menurut saya filosofi yang dipegang oleh tukang foto tersebut menyarankan bahwa foto yang bagus hanyalah foto jurnalistik, menampilkan realitas, dsb,dsb (semoga saya benar). Kalau begitu bagaimana dong foto-foto kategori lain yang sudah susah payah dibuat oleh fotografer lain? Foto arsitektur misalnya, saya kira dibilang bagus apabila berhasil baik secara teknis, maupun berhasil dalam menjabarkan kekuatan aristektur bangunan tersebut. Demikian juga foto alam, tentulah dibuat untuk mendeskripsikan keindahan alam raya ini. Sekali lagi, saya hanyalah orang yang masih awam di fotografi, jadi saya mohon maaf apabila analisis saya ini masih terlalu dangkal.
Oleh: Peksi Cahyo (2401) 21 tahun yang lalu
Salut buat anda yg bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan...satu kata yg paling saya garis bawahi adalah Kreativitas tanpa Realitas sama spt susunan abjad dari A-Z...ternyata motret itu susah sekali ya Bung..artinya begitu memotret dikaitkan dg kerangka berpikir dg hasil akhirnya adalah sebuah karya foto..benar2 suatu proses dan bukan cuma sekedar men-klik tombol shutter aja...dan mungkin sebenarnya dalam suatu karya foto tidak ada yg benar2 bagus atau benar2 jelek dg kata lain tidak benar2 sehitam atau seputih kita melihat sesuatu hal.
Oleh: Eka Alam Sari (9096) 21 tahun yang lalu
Kuresapi kata demi kata... sambil mengangguk-angguk dan terbatuk2 (Waaaah ternyata hunting Sunda Kelapa, Walahar dan Serpong fisikkulagi gak prima). Lama juga bacanya, gw gak secerdas elo seeeeh :p Mulai nulis panjang lebar gini, masuk ke bagian psikologi aja yuuuuk :)). Gw setuju dg apa yg elo katakan (Menghela nafas) gw sendiri lagi dalam proses pencarian... (Istri loe juga lagi loe suruh cari2 konsep foto ya, Bo... capek gak dia tuhhh ya). Yah, gw sih kecepatannya kayak siput gini, tp yg penting pasti deh. Thx sekali lagi buat semangatnya. Eh, gw bisa numpang scan di tempat loe lagi gak nih, udah lama gak upload. Gw setuju juga sama kalau artikel2 macam punya Arbain, Abbo, dan rekan2 lainnya dikoleksi sama FN. Yg jelas di FN mata gw terbuka sama semua aliran.... Semua teman2 di sini jempolan deh! Kreatif! Yuk, support satu sama lain.
Oleh: Willy Sutrisno (1031) 21 tahun yang lalu
Pertama saya mau kasih tahu kalau saya salut dengan tulisan Bung. Tidak gampang buat tulisan seperti itu, dan pribadi saya tertarik dengan apa yang Bung ceritakan. Saya scroll en scrool en scrool, pikirku kok ngak abis-abis, saya mencari-cari makna dari tulisan anda. Dan seperti layaknya anda dengan si tukang foto itu, makna yang didapt dari tulisan anda pun belum sepuhnya dipahami. :) Saya hanyalah pemula di dalam dunia fotografi, masih belajar ambil foto lah istilahnya. Saya sangat setuju dengan statement si Tukang foto, kalo orang dengan kamera 50,000 rupiah dengan moment yang tepat bakal menghasilkan foto yang sama bagus dengan seseorg dengan peralatan foto yang tercanggih. Kamera dan perlengkapannya hanyalah alat, yang menentukan sesuatu foto itu bagus apa kagak adalah moment, kreatifitas dan banyak lagi..... Anyway, I really enjoy your article. please keep the good works, cheers......
Oleh: Suryo Wibowo (25088) 21 tahun yang lalu
i need to think about it again. Bener mas, saya bener² kaget baca tulisan "lama" ini...jadi bertanya-tanya sendiri, where i am...dan foto apa yang telah aku buat...foto "bagus" atau "jelek"... satu sisi, saya sendiri berpikir, tolok ukur nilai seni sebuah foto yang bang Abbo ajukan adalah menurut si Tukang Poto keliling itu. Saya sendiri tidak tau siapa dia dan apa hubungan dia dengan bang Abbo. Bukan saya berkata, bahwa saya tidak setuju dengan tolok ukur bang Abbo mengacu kepada orang itu, yang mungkin (asumsi saya ) adalah idola bang Abbo. Saya sendiri masih bingung and still looking for it... btw, thx for sharing...
Oleh: Raiyani Muharramah (67293) 21 tahun yang lalu
hmmmm:-? betul seperti bang andi, perlu di print nih tulisan, dan bisa di baca sewaktu-waktu, dan kapan saja kalau saya lupa tentang tujuan saya berkarya:D daripada baca tabloid artis:-", mending baca ini aja:-?
Oleh: Jonathan Marbun (4192) 21 tahun yang lalu
Creativity without Reality...memang rasanya hambar ya. merekam sesuatu yang indah...sudah biasa ya. Mungkin ada benarnya juga kalau orang mau sukses motret memang harus mencoba untuk memahami lukisan, karena itulah basicnya.
Oleh: Dana Sukatja (1021) 20 tahun yang lalu
wah,wah,wahhhhhhhh,gue salut ama bang ABBO en terutama bang Kreiboy... gue jd semangat.thanks
Oleh: Grace Utomo (10175) 20 tahun yang lalu
ini luar biasa...luar biasa...
Oleh: Erik Estrada (89424) 19 tahun yang lalu
proses itu yg saya rasakan skarang.keep on moving.