Photos & Script: Mia Harjoni
Memotret anak kecil atau balita mungkin hal yang biasa dan umum dilakukan para orangtua yang baru memiliki anak, dan sedang senang-senangnya mengabadikan setiap kegiatan si kecil, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi di malam hari. Setiap tingkah laku dan ekspresinya yang lucu dan menggemaskan tak luput dari bidikan kamera.
Demikian pula dengan saya, yang mendalami fotografi dengan spesialisasi obyek anak-anak, semua berawal dari “kenorakan” saya sebagai ibu baru. Dari memotret yang sekadar dokumentasi, timbul keinginan mengabadikan momen secara artistik tetapi tetap alami, sehingga ada “cerita” yang didapat dari foto tersebut.
Kesabaran
Memotret anak-anak secara teknis sebenarnya tidak ada yang istimewa, malah cenderung sederhana. Apalagi saya khusus memotret secara outdoor, sehingga tidak perlu peralatan canggih karena yang diandalkan adalah cahaya alami. Cukup kamera dengan lensa zoom. Dengan demikian, mood anak tidak terganggu oleh kehadiran per-alatan fotogarafi seperti lampu, reflektor dan sejenisnya.
Yang utama diperlukan adalah kesabaran. Mood anak-anak sulit ditebak. Tertawa dan ngambek bisa terjadi dalam hitungan detik. Apalagi kalau si anak sudah bisa berjalan, dan sedang lincah-lincahnya, kita malah perlu tenaga ekstra untuk mengejar mereka demi mendapat ekspresi spontan dan alaminya.
Jari kita juga harus selalu dalam keadaan siap menekan tombol shutter. Bila perlu, jepret sebanyak-banyaknya saat si anak berekspresi, supaya kelak bisa dipilih ekspresi terbaik dari semua hasil foto.
Tema Berubah
Secara umum, bagi saya memotret anak sangat menyenangkan, dan banyak hal-hal tak terduga terjadi saat pemotretan berlangsung. Ide tema dan konsep matang yang disiapkan bisa berbalik, menjadi konsep dan tema dadakan demi si anak mau difoto dan berkespresi. Seringkali anak-anak menolak difoto dengan memakai properti yang disiapkan, atau menjadi terlalu asyik bermain dengan satu properti sehingga tidak mau ganti baju atau benda lainnya untuk tema pemotretan berikut.
Pernah terjadi, si anak sudah siap difoto dengan segala pernak-pernik yang disiapkan, tinggal tunggu ekspresi cerianya yang perlu dipancing. Dari pengasuh sampai sang ayah memancing ekspresinya dengan segala macam cara – bertepuk tangan, menirukan suara-suara lucu dan aneh, bertingkah laku ibarat badut, dan sebagainya. Apa yang terjadi kemudian? Anak itu tetap “adem ayem”, malah tampak takjub dan terbengong-bengong melihat tingkah laku orang dewasa di sekitarnya.
Ada pula yang tiba-tiba fobia kamera. Setiap melihat saya mengarahkan kamera kepadanya, tiba-tiba si anak menangis, atau marah-marah dan membuang muka. Memotret anak memang bisa dibilang gampang-gampang susah, tetapi tetap saja menyenangkan. Melihat pancaran ekspresi mereka yang masih polos, rasa capek kita saat memotret mejadi tak terasa.
Tips dari fotografer
Mia Harjoni Tinggal di Jakarta. Selain sebagai fotografer freelance dengan spesialisasi anak-anak sejak tahun 2005 hingga sekarang, dia juga pernah menjadi desainer busana anak dan remaja untuk beberapa produsen pakaian.
Artikel ini pertama kali dimuat di Exposure Magazine Edisi 1 Klik di sini untuk melihat dan mendownload edisi-edisi Exposure Magazine yang pernah diterbitkan. Exposure Magazine adalah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Fotografer.net.Exposure Magazine adalah merk dagang resmi yang dimiliki oleh Fotografer.net.
3 tahun yang lalu Reply
2 tahun yang lalu Reply
1 bulan yang lalu Reply