Resensi Buku
Kisah Kelam Bisnis Prostitusi Indonesia
Data Buku
Judul : Sex For Sale, Potret Faktual Prostitusi 27 Kota Di Indonesia
Penulis : Yuyung Abdi
Penerbit : JP Books
Cetakan : I, 2007
Tebal : XXIV + 224 Halaman
Don’t judge a book by its cover! Pepatah ini rasanya pantas dijadikan pegangan ketika kita berhadapan dengan sebuah buku. Hal ini pula yang saya rasakan ketika saya melihat buku ini. Judulnya yang provokatif justru menumbuhkan rasa penasaran saya. Lembar demi lembar yang saya buka semakin membuat saya penasaran untuk membacanya. Catatan dari penulis dan rekan-rekannya pada lembar awal menjelaskan perihal alasan, tujuan hingga proses pembuatan buku ini. Menarik menyimak catatan ini karena sebagai pembaca saya selalu penasaran dengan latar belakang pembuatan sebuah buku. Melalui catatan ini, kita bisa melihat perjuangan penulis dan rekan-rekannya dalam melahirkan buku ini. Proses pembuatannya sendiri memakan waktu hampir 3 tahun dengan melibatkan lebih dari 150 orang. Buku yang disusun oleh Bapak Yuyung Abdi yang juga Redaktur Foto harian Jawa Pos ini berisi foto-foto essay yang mengisahkan kehidupan para pekerja seks di Indonesia dan dua Negara lain. Lebih dari 300 foto ditampilkan dalam buku ini dilengkapi dengan data teknis yang bisa membantu pembaca yang belajar fotografi. Melalui foto, Pak Yuyung menampilkan secara gamblang kehidupan sehari-hari yang dilakoni oleh pekerja seks. Pemilihan foto sebagai media komunikasi ini bisa jadi karena bahasa visual adalah bahasa yang paling bisa diterima pembaca. Dengan melihat kita bisa ikut merasakan. Foto-foto tidak memerlukan banyak kata-kata tapi sudah mampu bercerita dengan sendirinya. Tanpa banyak kata-kata, Pak Yuyung sudah menceritakan sebuah kisah kepada pembaca melalui foto-fotonya.
Kisah dalam buku ini mengambil lokasi di 27 kota di Indonesia dan dua tempat di luar Indonesia, yakni Singapura dan Las Vegas. Kota-kota di Indonesia meliputi Batam, Bali, Surabaya, Jakarta, Manado, Palembang, Bengkulu, Medan, Tarakan, Banjarmasin, Makasar, Mataram, Bandung, Malang, Tretes, Jogja, Semarang, Solo, Madiun, Banyuwangi, Jember, Tulungagung, Tuban, Sampit, Palangkaraya, Ambon, dan Jayapura. Usaha Pak Yuyung dan rekan-rekannya dalam mencari lokasi dan mendapat akses ke sarang prostitusi ini sangat patut diacungi jempol. Pastilah tidak mudah untuk mendekati daerah hitam seperti ini. Terlebih lagi untuk mengabadikan gambar dan mengorek kisah dari mereka yang menjadi lakon dalam dunia hitam ini. Pantas jika buku ini membutuhkan waktu 3 tahun. Tapi perjuangan penulis dan timnya tidaklah sia-sia, lihatlah hasilnya, Pak Yuyung berhasil menyajikan dunia yang selama ini tersembunyi. Masing-masing daerah memiliki karakteristik bisnis prostitusi sendiri. Semuanya menyimpan kisah kelam perempuan yang harus mengadaikan harga diri demi bertahan hidup. Semakin saya tenggelam dalam lembar demi lembar semakin miris hati ini.
Prihatin!, itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan kisah dalam buku ini. Melalui foto-foto, saya menjadi saksi akan sebuah kehidupan kelam yang harus dijalani oleh ribuan perempuan Indonesia. Kenapa selalu perempuan yang menjadi korban? Pertanyaan itu selalu ada di benak saya, tapi tak pernah saya temukan jawabannya. Buku ini memang tidak menjawab pertanyaan saya, tapi melalui buku ini saya bisa melihat bahwa perempuan adalah korban, entah mereka sadar atau tidak.
Simpati saya semakin timbul ketika saya membaca beberapa kisah yang menusuk hati. Beberapa kisah yang memilukan itu di antaranya pada halaman 28, foto di halaman ini menampilkan seorang pekerja seks di bawah umur tengah bersantai dikamarnya. Meski wajahnya disamarkan tapi saya bisa melihat usianya yang masih sangat muda ditambah lagi dekorasi kamarnya yang masih kekanak-kanakkan. Di saat teman-teman lainnya menikmati masa muda mereka, gadis kecil ini harus merasakan pahitnya dunia. Lalu foto halaman 88-89 yang menampilkan nisan bayi yang lahir dari dunia prostitusi. Potret ini menampilkan dampak dari bisnis prostitusi yang semakin merajalela. Dimana semakin banyak bayi tak berdosa yang harus menanggung akibatnya. Namun, hal yang paling mengerikan yang saya temukan dalam buku ini ada di halaman 128. Disitu nampak foto dua perempuan, satu sedang duduk merokok dan satu lagi sedang tidur. Bukan foto yang membuat saya ngeri namun captionnyalah yang mencengangkan. Sayangnya, saya tidak menemukan keterangan lebih lanjut tentang kisah ini. Hal ini terus membuat saya penasaran, namun sampai halaman akhir tetap tidak saya temukan kisahnya. Masih ada kisah menarik lainnya di halaman 111, kisah seorang pekerja seks bernama Santi yang telah bekerja di bisnis ini sejak berusia 12 tahun. Benar-benar kenyataan yang menyedihkan. Yang tak kalah menarik adalah kisah Laura, seorang pekerja seks asal Papua yang masih berusia 15 tahun. Kisah-kisah seperti ini sangat menggugah karena prostitusi sebagai masalah sosial sudah seharusnya ditangani dengan tepat. Jangan sampai gadis-gadis muda yang masih polos terjerumus dalam dunia ini, karena ini bukan hanya menyangkut masa depan mereka tetapi juga keselamatan mereka.
Selain kisah-kisah tragis, saya juga menemukan beberapa kisah yang menggambarkan sisi keibuan seorang pekerja seks. Kisah tersebut saya temukan pada halaman XVIII dan XIX yang menampilkan foto pekerja seks yang sedang hamil. Juga halaman 132 yang menampilkan foto kamar seorang pekerja seks. Dalam foto itu nampak dinding kamarnya dipenuhi foto si buah hati. Foto ini berhasil menampilkan sisi keibuan seorang pekerja seks, mereka tetaplah seorang ibu yang rela melakukan apa saja demi si buah hati.
Beberapa foto cukup menggelitik saya karena momen yang ditangkap sangat tepat. Seperti foto di halaman 87 dengan judul “BUKAN KAU YANG KUTUNGGU,†foto ini menampilkan seorang gadis sedang duduk dan seekor kambing mendekatinya. Momen yang lucu dan langka. Lalu foto di halaman 90 berjudul “MANA PILIHANMU†yang menampilkan seorang gadis yang sedang menunggu disampingnya ada poster bertuliskan YANG MANA PILIHANMU? Ini juga momen yang sangat pas. Satu lagi foto di halaman 53 yang menampilkan seorang gadis dan dibelakangnya terpampang tulisan DIJUAL. Momen yang unik.
Foto-foto dalam buku ini berhasil membawa pembaca ke dalam pengalaman yang dialami penulis. Kita seakan hadir disana dan melihat sendiri kehidupan mereka. Itulah yang menjadi daya tarik dari buku ini, selain juga ulasan yang ‘berani’ menampilkan dunia prostitusi secara jujur. Kerja keras dan riset yang mendalam menghasilkan suatu liputan yang faktual. Namun amat disayangkan buku ini kurang menyorot latar belakang mereka terjerumus ke bisnis ini. Memang ada beberapa kisah yang menjelaskan, namun kisah tersebut tidak diceritakan lebih detil. Seandainya penulis juga mengisahkan latar belakang mereka tentu pembaca bisa lebih memahami alasan mereka berprofesi sebagai pekerja seks. Bisa jadi kisah ini tidak ditampilkan karena keengganan mereka untuk bercerita masalah pribadi. Pasti sangat sulit mengorek informasi tersebut dari mulut mereka. Meskipun demikian, buku ini tetap masuk daftar wajib baca. Bukan untuk menghakimi mereka yang berkecimpung dalam bisnis ini namun untuk menyadarkan kita bahwa bisnis prostitusi adalah suatu ancaman. Ini adalah masalah sosial yang perlu ditangani sesegera mungkin. Semoga dengan hadirnya buku ini masyarakat dan aparat semakin tergugah untuk mencari solusi yang terbaik. Namun ada satu kekhawatiran saya, jika setelah membaca buku ini kemudian masyarakat menganggap perempuan yang mungkin berpakaian atau berdandan seperti pekerja seks adalah pekerja seks. Belum tentu mereka yang berdandan seperti itu adalah pekerja seks, tidak semuanya seperti itu. Kita harus memastikan dulu sebelum menuduh. Resensi singkat ini akan saya tutup dengan pepatah yang saya gunakan di awal tulisan. Don’t judge a book by its cover.