Pengantar FN:
Dalam sebuah kesempatan mengunjungi Bali bersama beberapa rekan anggota FN dari Indonesia dan Larry Loh (Singapura), saya membantu Sebastian Song untuk menjumpai John Stanmeyer di rumahnya, di daerah Kerobokan, Bali. Sebagai fotografer terkemuka kelas dunia, fotografer yang pernah berbasis di Hong Kong ini tergolong ramah dan rendah hati. Wawancara diterjemahkan ke Bahasa Indonesia untuk mempermudah anggota FN membacanya. Terimakasih banyak untuk Sebastian Song. English version is in the second part, in the bottom of this article.
– Kristupa Saragih


John Stanmeyer, salah satu pendiri VII Photo Agency (www.viiphoto.com), akan menyelenggarakan Workshop Bali pertamanya pada 24-30 Juli 2005. Sebastian Song menjumpai John untuk mengetahui lebih lanjut mengenai workshop tersebut dan para penyelenggaranya.

Sebastian Song (SS)    Apa motivasi di balik pembentukan VII Photo Agency?

John Stanmeyer (JS)    VII Photo Agency pertama-tama dimulai oleh Gary Knight dan saya pada tahun 2000. Kami ingin memakai pendekatan murni kepada penampilan foto-foto kami. Di tengah-tengah maraknya sejumlah akuisisi agensi foto seperti yang dilakukan oleh Corbis dan Getty, kami memulai VII dengan mengajak sejumlah rekan. Kami ingin membawa bisnis fotografi kembali ke tangan para fotografer and itulah awal mula berdirinya VII. Selanjutnya adalah sejarah.
 
 
SS    Mengapa Anda menekuni foto jurnalistik?

JS    Jurnalistik yang memilih saya. Saya memulai fotografi pada awal tahun 80-an sebagai fotografer fashion. Pada waktu itu saya merasa bahwa, fotografi memiliki jalur-jalur kreativitas yang tak terbatas. Di sekolah seni, fotografer yang mengajar foto jurnalistik tak bisa memberi inspirasi pada saya. Saya tak pernah mendapat pencerahan yang cukup untuk merasakan kekuatan foto jurnalistik pada saat itu. Sementara itu, pengajar-pengajar lainnya seperti Albert Watson, Peter Lindbergh dan Helmut Newton… dalam banyak hal, kreativitas tak terbatas mereka masih menjadi inspirasi bagi saya.
 
Saya masih berusia awal dua puluh tahunan ketika bermukim di Milan, Italia sampai akhirnya saya terlibat dalam dunia fotografi media fashion yang bekerja untuk Vanity, sebuah majalah garda depan Italia yang sekarang tak terbit lagi. Saya waktu itu juga bekerja untuk majalah Interview saat Andy Warhol masih hidup. Tapi saat itu saya masih muda dan memulai profesi ini begitu cepat, sehingga tanpa tersadar bahwa pekerjaan fotografi saya ini membawa saya menjauh dari panggilan yang sebenarnya. Suatu hari saya tersadar, bahwa saya sudah mencuci otak orang lain untuk berpikir bahwa mereka dianggap sebagai orang melalui busana yang mereka kenakan.
 
Saya pada dasarnya memiliki epifani dan tersadar melalui sejumlah peristiwa yang kompleks bahwa jalan saya adalah foto jurnalistik, fotografi “kebenaran”, yang merupakan fotografi berkekuatan lebih besar yang bisa saya bayangkan atau buat. Saya meninggalkan Milan dan pindah ke Madrid, Spanyol lantas mulai menekuni street photography. Setelah 6 bulan di sana saya kembali ke Amerika Serikat (AS), kemudian bekerja pada sebuah koran dan menghabiskan 6 tahun di sana belajar foto jurnalistik. Setelah itu, saya bergabung dengan agensi foto Saba, yang sekarang sudah tak beroperasi, dan pindah ke Asia tahun 1996.
 
 
SS    Anda melanjutkan dokumentasi kebangkitan sosial dan politik di Indonesia. Apa yang Anda anggap sebagai isu tekanan sosial yang dihadapi Indonesia saat ini?

JS    Saya merasa ada suatu pemisah yang tumbuh secara luas, membagi kaya dan miskin, tak hanya di Indonesia tapi di seluruh planet ini, bahkan di negara-negara kaya. Hal itu membawa kesadaran akan kelemahan rasa kemanusiaan kita, bahwa kita beranggapan lebih kepada apa yang “kita punya” ketimbang anggapan tentang siapakah kita. Tak ada yang salah dengan mengumpulkan uang. Tapi memang benar ada masalah ketika nafsu membutakan kita dan kekayaan menjauhkan kita dari keinginan untuk melihat dunia di sekitar kita. Begitu kita menganggap diri kita berbeda dari “mereka”, masalah kemiskinan tak akan terpecahkan.
 
Begitu juga dengan pewarta foto yang harus belajar untuk menilik ego mereka masing-masing. Isu-isu yang saya potret didokumentasikan melalui perspektif yang terlihat dalam foto-foto saya. Saya ingin pemirsa foto untuk sepenuhnya memahami bahwa kita tak berbeda satu sama lain. Dan, ketika kita berlanjut membutakan diri sendiri maka kita tak akan pernah bisa melihat. Kenyataan ini tak hanya isu serius yang terjadi di Indonesia, melainkan juga isu serius bagi masyarakat global secara keseluruhan dan harus diarahkan sesegera mungkin agar pemisahan kaya-miskin tak semakin tak terkendali.
 
 
SS    Jika kemiskinan adalah buatan manusia, bagaimana dengan dampak bencana alam seperti tsunami baru-baru ini?

JS    Bencana alam karena terjadi secara alamiah memang menakutkan dan bisa berskala besar hingga sangat menakutkan,  bayangkan jika seseorang memotretnya tanpa bobot dan muatan tertentu. Tsunami di Asia, sebagai contoh, sangat jauh mengatasi fotografi, mengatasi jangkauan dan bingkai sebuah kamera. Tetapi, tsunami juga memiliki efek memilukan yang bisa dirasakan di seluruh dunia. Peristiwa itu mengingatkan kita, betapa kecilnya kita dan mengingatkan kita pula bahwa, di tengah perlombaan kita meraih kekayaan fisik, kita tak akan membawa kekayaan itu sampai mati. Tak ada yang abadi.
 
Orang-orang yang saya jumpai di Aceh dan Sri Lanka mengingatkan saya kembali tentang realitas yang paling dasar, bahwa kita hanyalah manusia. Di samping kehilangan keluarga, harta benda dan semangat, orang-orang di sana tetap miskin. Hidup mereka semakin sulit di tengah situasi yang rumit, karena tsunami tak bisa diukur dengan skala manusia. Peristiwa seperti itu di atas semua yang pernah kita lihat sebagai manusia.
 
Suatu proyek jangka panjang yang sedang saya kerjakan sehubungan dengan tsunami adalah mengikuti 3 orang korban yang kehilangan semua atau hampir semua anggota keluarga mereka. Saya berencana menghabiskan setahun ke depan untuk menyaksikan bagaimana mereka tak hanya berkompromi dengan kehilangan yang luar biasa, tapi juga bagaimana menempatkan diri mereka untuk mengembalikan kehidupan seperti sedia kala. Saya berharap melalui proyek ini, tak hanya orang lain melainkan juga saya, bisa menempatkan peristiwa ini pada konteks perspektif kemanusiaan.
 
 
SS    Anda sudah pernah pergi ke berbagai tempat di dunia. Manakah tempat yang paling berbahaya atau situasi paling berbahaya bagi Anda?

JS    Menyeberangi jalan di Jakarta.
 
 
SS    Bagaimana Anda mendefinisikan foto yang bagus?

JS    Foto apapun yang membuat saya berpikir. Saya pernah ditanya tentang foto terfavorit saya yang pernah saya buat. Jawabannya sederhana, tak satu pun. Bagaimana kita bisa menilai kehebatan sebuah foto tentang anak kelaparan dengan foto yang lain tentang anak kelaparan juga. Anak kelaparan adalah anak kelaparan, suatu peristiwa. Hal yang penting adalah mengkomunikasikan pesan foto tersebut dan cara terbaik untuk mempublikasikannya. Hal yang paling menjemukan bagi saya adalah melihat foto di komputer dan tak keluar untuk memotret Kita harus senantiasa mencoba dengan tekun untuk membuat isu-isu serius bisa terlihat oleh publik, terutama agar bisa terlihat oleh orang-orang di kantor pemerintah dan pejabat-pejabat tinggi yang memiliki kekuasaan besar untuk membuat perubahan bagi orang-orang yang tak bisa membuat perubahan untuk diri mereka sendiri.
 
 
SS    Apa yang Anda harapkan dari peserta-peserta workshop Bali?

JS    Setiap peserta akan mendapat sebuah penugasan. Mereka akan keluar setiap hari ke lapangan. Dalam hari-hari tertenu, saya dan Gary akan pergi bersama peserta-peserta yang merasa mereka kehilangan arah penugasan mereka untuk menemui kesulitan. Setiap hari dalam workshop, saya dan Gary akan selalu menyediakan diri di studio saya untuk membantu dan berdiskusi tentang penugasan yang dikerjakan setiap peserta. Penugasan akan memakan waktu 7 hari. Tujuan penugasan adalah untuk mengikuti alur cerita dan menemukan intinya.
 
Sebagai contoh, esai foto tentang pariwisata di Bali jangan sampai terbatas hanya pada foto-foto wisata tapi juga memotret sisi baik dan buruk industri tersebut, termasuk juga keindahan tempat wisata dan alasan yang membuat orang terbang dari berbagai penjuru tempat untuk datang ke Bali. Dan, juga aspek-aspek negatif seperti seks dan narkoba yang  biasanya muncul dan juga cukup penting. Sudah tentu, akan menyenangkan untuk melihat esai hitam-putih tentang peselancar jika ada peserta yang memilih topik tersebut.
 
Hal terakhir yang kita inginkan adalah membatasi fotografi. Jangan sampai kita membuat struktur kokoh yang membatasi aliran alami alur kerja setiap fotografer. Alasan utama workshop tahunan ini adalah untuk menghilangkan batasnya, bukan membentuknya. Di samping itu saya telah menyediakan penginapan, makanan dan transportasi sehingga para peserta bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada fotografi.
 Seluruh peserta harus siap untuk bertanya, banyak-banyaklah bertanya. Workshop ini adalah tempat Anda menggodok diri dalam wadah foto jurnalistik.
 

SS    Apa saran Anda untuk memberi inspirasi pada para pewarta foto?

JS    Kerjakan penugasan yang Anda yakini isinya.
 
Jika Anda tak bisa menemukan majalah untuk mendukung penugasan Anda di saat awal, danai proyek Anda secara swadaya. Selama bertahun-tahun, saya dan istri menyimpan uang kembalian receh, baik ketika kami masih di AS dan saat kami tinggal 7 tahun di Hong Kong. Anda akan terkesima ketika jumlah yang terkumpul dari sen demi sen menjadi sejumlah besar dollar seiring dengan waktu.
 
Publikasikan sendiri karya Anda. Ada banyak kesempatan yang untuk mempublikasikan karya tanpa harus bangkrut secara ekonomi. Manfaatkan internet untuk menyebarluaskan karya Anda. Tinggal bagaimana Anda memusatkan diri pada tujuan tapi tanpa menghilangkan cara-cara alternatif.***

 


 

FN Foreword:
In a visit to Bali with some FN friends from Indonesia and Larry Loh (Singapore), I helped Sebastian Song to meet John Stanmeyer in his home, in Kerobokan, Bali. As a well-known world class photographer, this ex-Hong Kong based photographer is very kind and low profile. This interview is translated to Bahasa Indonesia to help Indonesian FN members understand it. A lot of thanks for Sebastian Song.
– Kristupa Saragih

John Stanmeyer, co-founder of VII Photo Agency (www.viiphoto.com), will be conducting his first-ever Bali Workshop from 24-30 July 2005. Sebastian Song paid John a visit to learn more about the workshop and the man behind it.


SS    What are the motivations behind the formation of VII Photo Agency?
 
JS    VII Photo Agency was originally seeded by Gary Knight and I back in 2000. We wanted a pure approach to how our photography would be represented. In the wake of the numerous acquisitions of photo agencies by the likes of Corbis and Getty, we started VII by calling our friends. We wanted to bring photography back into the hands of the photographer and that is how VII started. The rest is history.
 

SS    Why did you pursue photojournalism?
 
JS    Journalism chose me. I started in photography in the early ‘80s as a fashion photographer. At the time I felt that vain of photography has the most limitless creative options. In art school the photographer who taught photojournalism never inspired me. I was never illuminated properly into the power of photojournalism at that time. Instead, my mentors were the likes of Albert Watson, Peter Lindbergh and the late Helmut Newton… and I many ways, their limitless creation still inspires me. I was in my early twenties while living in Milan, Italy when I finally broke into the editorial fashion world working with Vanity (an Italian avant guard magazine now no long publishing), as well as Interview while Andy Warhol was still alive.
 
But I was young and began this work too quickly, not understanding that my photography back then was leading me away from my real calling. One day I woke up realizing I was brainwashing people into thinking they were less of a person by what clothing they wore. I basically had an epiphany and realized through a complex series of events that my purpose was photojournalism, ‘reality’ photography, an even greater power of photography then what my mind could imagine or create. I left Milan for Madrid, Spain, where I then began doing street photography. After six months I moved back to the U.S. where I took a job at a newspaper and spent the next six years teaching myself photojournalism before joining the now defunct Saba photo agency and moving to Asia in 1996.
 

SS    You continue to document social and political upheavals in Indonesia. What would you identify as the most pressing social issue facing Indonesia today?
 
JS    I feel that there is a growing divide globally divide between rich and poor, not just in Indonesia but across the planet… even in prosperous nations. It all boils down to the weakness of humanity – that we think we are more by what we “have” rather than who we are. There is nothing inherently wrong with earning money. But there is a problem when greed blinds us and our possessions distract us from seeing the world around us. As soon as we perceive ourselves as different from “them”, poverty will never be resolved.
 
Likewise, a photojournalist should learn to check his or her ego at the door. I photograph the issues I document from the perspective of those in my photographs. I want the viewer to fully understand that we are not different from each other. That if we continue to blind ourselves, we will not actually see. This reality is not only a serious issue for Indonesia, it is for our entire global society and must be addressed soonest lest the divisions that divide us grow even more insurmountable.
 

SS    If poverty is man-made, how about the effects of natural calamities like the recent tsunami?

JS    Natural disasters just by their very nature are horrific and can be enormous to even comprehend, let alone think one can photograph it without proper weight and measure. The tsunami in Asia, for example, was well beyond photography… beyond the scope and frame of a camera. But it also had a humbling effect that could be felt around the world. It reminds us of how small we are and also reminds us that in our pursuit of physical wealth we cannot take any of this with us. Nothing ever last forever.
 
The people I met in Aceh and Sri Lanka reminded me once again of my humbled reality… we are all only human. Despite having lost their families, property and possessions, the people of these two areas remained humble, ever in the more difficult of difficult circumstances – because the tsunami was not of a human scale. It was beyond anything we’ve seen in human time. One long term project I’m doing in connection to the tsunami is following three individuals who lost all or nearly all their family members. I will spend the next year witnessing how they try to not only cope with the enormous loss, but also how to try to put their lives back together. I hope that through this story not only others, but myself, can better put this event into context from the human perspective.
 

SS    You have traveled to the far corners of the world. Where is the most dangerous place or situation you have ever been in?
 
JS    Crossing the streets of Jakarta.
 

SS    How would you define a good photograph?

JS    Any photograph that makes me think. I was once asked about the favorite picture I ever took. There simply isn’t one. Who is to judge the superiority of one photo of a hungry child against another one of a hungry child. A hungry child is a hungry child, period. The important thing is to communicate the message and the best way to do it is to get published. Nothing enrages me more than photos sitting on hard drives and never seeing the light of day. We must keep pushing hard to get serious issues to be seen by the public – especially those in government office and high ranking officials who have far greater power to make changes for others who cannot make changes for themselves.
 

SS    What do you expect from participants of the Bali workshop?
 
JS    Each participant will receive an assignment. They will go out each day into the field. On various days Gary and I will travel with you if we feel you’re missing the direction of the story or having difficulties. Throughout each day of the workshop, Gary and I will be available at my studio to guide and discuss each story you’re working on. It will be a full absorption for seven days. The story objective is to follow a storyline and find its fire. For example, a photo essay of tourism in Bali should not be restricted to tourist photography but examine the dirt and grit of the industry… as well as its beauty and why people travel around the world to come here. And also negative aspects like sex and drugs are ever present and equally important. Of course, I would also love to see a black and white essay on surfing if someone chooses to do so.

The last thing we want is to limit photography. We do not like creating a stiff structure which limits the natural free flow of how each photographer works. The main reason for this annual workshop is to raise the bar — not contain it. Hence I have eliminated concerns of lodging, food and transport so that participants concentrate solely on photography.

Participants should be prepared with questions, lot of them. This is one workshop where we will grab your ankle into the boiling pot of journalism.
 
 
SS    What advice would you give to aspiring photojournalists?

JS    Do the stories you believe in.

If you cannot find a magazine to support your story in the beginning, self finance the project. For years, my wife and I have saved our coin change (in America and when living for seven years in Hong Kong). You will be pleasantly surprised at the tidy sum accumulated as cents turn into dollars over time.

Self publish your work. There are more opportunities than ever before to publishing without being economically ruined. Make use of the Internet to spread the word. It is just a matter of putting your head to the matter and not dismissing the unconventional.