Petunjuk Praktis Foto Panggung

MEMOTRET pertunjukan di panggung merupakan sebuah cabang fotografi yang unik. Pengetahuan fotografi saja tidak cukup untuk bekal melakukannya. Selain butuh pengalaman dari pemotretan-pemotretan sebelumnya, fotografi panggung juga butuh "pengalaman lokal".


Pengalaman lokal yang dimaksud adalah pemahaman pada adegan-adegan yang akan dipotret. Pada sebuah pertunjukan teater misalnya, seorang fotografer perlu mendapatkan "adegan kunci", yaitu sebuah foto yang bisa mewakili pertunjukan secara keseluruhan. Di sini, waktu atau timing saat kamera dijepretkan sangatlah menentukan. Dua adegan yang berselisih waktu detik pun bisa sangat berbeda penampilannya.

Survei pendahuluan sebelum memotret bisa dilakukan dengan mempelajari skenario atau bertanya ke beberapa pemainnya. Kalau ada gladi resik, survai bisa dilakukan (sambil memotret tentu saja) pada gladi resiknya. Kalau ada adegan yang terlepas dari pemotretan, bisa diulangi pada pertunjukan aslinya. Selain itu, mempelajari gladi resik membantu seorang fotografer untuk mendapatkan tempat berdiri terbaik dan juga  arah cahaya yang tepat .

Namun, banyak pertunjukan yang hanya boleh dipotret pada gladi resiknya saja. Untuk hal ini, survai yang harus dilakukan mau tidak mau adalah dengan mempelajari alur ceritera pertunjukan itu dan peralatan yang aada di gedungnya. Mempelajari adegan demi adegan juga sangat diperlukan untuk membantu membuat komposisi foto. Pada beberapa kesempatan, pemilihan komposisi foto benar-benar harus diputuskan dalam waktu singkat saat melihat adegan itu berlangsung. Sebagai contoh adalah foto berikut  yang memilih komposisi tidak simetris dengan memasukkan unsur asap sebagai eleman di bagian kanan. Keputusan memilih komposisi akan makin mudah dengan makin seringnya seorang fotografer memotret.

***

PADA pergelaran busana, pemotretan sebuah busana dilakukan saat busana itu menempel di tubuh peragawati. Peragawati bisa berjalan di catwalk yang ditonton rame-rame, atau bisa juga peragawatinya memang berpose khusus untuk para fotografer. Pada kondisi pertama, seorang fotografer harus menjepretkan kameranya saat sang peragawati berada pada kondisi menampilkan busana pada titik terbaik. Kondisi ini tercapai biasanya saat sang perawati memutar di ujung catwalk. Pada titik ini, lampu penerangan biasanya juga berada pada titik terbaik. Peragawati senior umumnya lebih mudah dipotret sebab mereka sudah sangat berpengalaman. Bebereapa peragawati pemula, menundukkan pandangannya saat memutar sehingga foto yang didapat kurang "menggigit".

Sedangkan pada peragaan busana yang tidak di catwalk, kesulitan utama berebut tempat dengan fotografer lain yang sering jumlahnya belasan. Di sebuah tempat yang terbatas, banyak orang berebut memotret ke suatu titik seperti foto di bawah ini.

Diperlukan kecepatan memfokus, mengkomposisi dan menentukan saat menjepretkan kamera. Selain itu, cahaya yang umumnya minim membutuhkan penguasaan pengukuran pencahayaan dan pemilihan White Balance yang cepat dan akurat. Pada beberapa pertunjukan busana yang besar, lampu yang dipakai umumnya bertipe daylight sehingga white balancenya sama dengan cahaya matahari. Pada pergelaran yang lebih kecil, lampu yang dipakai umumnya tungsten dengan berbagai tingkat kekuningan pada warna cahayanya. Pengolahan white balance sangat penting agar warna yang ada di foto wajar dan benar.

***

LAIN lagi pemotretan pertunjukan hiburan. Pertunjukan musik dari kelompok atau bintang  besar seperti Toto, Sting, Phil Collins, Mick Jagger atau juga Julio Iglesias hanya mengizinkan fotografer dari berbagai media cetak memotret satu atau dua lagu awal. Setelah itu, semua fotografer harus mengeluarkan kameranya keluar gedung. Mau nonoton terus silakan sesuai undangan, tapi dilarang memotret lagi.

Hal ini bisa dimengerti sebab foto sang bintang bernilai uang. Pemotret yang dizinkan memotret terus hanya fotografer resmi panitia. Fotografer media cetak hanya diizinkan memotret untuk konsumsi berita.

Bahkan, untuk pertunjukan Julio Iglesias, fotografer hanya boleh memotret dari sisi kiri Julio. Tidak pernah ada penjelasan mengapa Julio tak mau difoto dari sis kanan. Sebaiknya para fotografer menurut saja.

Sedangkan pada pertunjukan sulap David Copperfield,  hanya adegan David muncul ke panggung sambil bercanda-canda sedikit yang boleh dipotret. Konon, dengan lensa tela akan banyak terungkap trik-trik rahasia pesulap sohor ini.

Namun, pada pertunjukan musik, inti foto memang pada vokalis. Kalau ada satu dua pemusik ikut terekam, itu lebih baik. Pada pertunjukan grup Dewa pada foto di bawah ini, foto vokalis Once sendirian pada beberapa keadaan bisa dianggap sudah mewakili Dewa secara keseluruhan.

***

HAL terakhir dan terpenting yang harus dipikirkan pada pemotretan panggung adalah masalah pencahayaan. Dengan pelaksanaan pertunjukan yang umumnya malam, secara umum cahaya pada sebuah  pertunjukan adalah lampu sorot yang menyinari objek utama dengan latar belakang gelap total. Di sini, keluhan utama fotografer adalah minimnya cahaya. Tidak heran kalau pertunjukan panggung umumnya menuntut ISO tinggi, biasanya ISO 400 ke atas.

Perhatikan foto di bawah ini:

Pengukuran matrix membuat sebagian wajah dan dada sang penari kelebihan cahaya. Hal ini terjadi karena pengukuran matrix ikut mengukur bidang-bidang gelap di latar belakang. Untuk adegan seperti itu , pengukuran center weighted lebih tepat dipakai.

Sedangkan foto di bawah ini  tidak memungkinkan pengukuran spot maupun center weighted. Keadaan pada foto ini  hanya bisa dipotret dengan pengukuran matrix, plus sebuah catatan. Kompensasi pengukuran harus under satu sampai dua stop.

Dengan keadaan ini, pengukuran matrix "tertipu". Tepi tubuh yang tersinari itu tidak terukur sehingga akan menghasilkan bagian-bagian foto yang over exposure. Foto ini  mengambil kompensasi pencahayaan under 2 stop. Akibatnya, tepi tubuh yang tersinari jadi normal sementara bagian foto lain tampak gelap. Ini tidak masalah kamera kenyataannya pertunjukkan tari Tommi Kitti dari Finlandia  pada acara Art Summit 2004 ini memang memilih pencahayaan remang.

Sebagai catatan akhir, semua foto di tulisan ini dibuat dengan NIKON D100  dan lensa 70-210/2,8 VR oleh Arbain Rambey dan Lasti Kurnia. (Arbain Rambey)