Dari beberapa ajang seni rupa Indonesia tahun ini, bisa dipastikan CP Open Biennale (CPOB) tercatat yang terbesar dan termegah dari sisi pengorganisasian dan pendanaannya. Inilah proyek pameran seni rupa kontemporer internasional pertama yang diadakan oleh institusi swasta Indonesia. Tak pelak, peristiwa penting itu kian melambungkan nama Jim Supangkat sebagai chief-curator yang bertangan dingin. Di situ juga tercatat nama Riski A. Zailani dan Asmudjo Jono Irianto sebagai co-curator.

Lalu, apakah kurator itu? Skala kerja seorang kurator, khususnya kurator seni rupa, setidaknya meliputi tugas-tugas: memilih, memilah, mempersiapkan, menata, dan memamerkan karya seni rupa dalam suatu pameran yang representatif. Tak hanya karya seni rupa saja yang musti diperlakukan sebegitu detail dan rumit. Namun prosedur di atas juga ditujukan kepada seniman- seniman yang berpameran; sebagai catatan, pemilihan seniman yang terlibat juga menguras energi tersendiri. Dengan wilayah tugas yang begitu berat, seorang kurator dituntut memahami seluk-beluk dan kiat sebuah pameran seni rupa yang baik. Sayangnya, kita di sini tidak mempunyai institusi yang khusus mendidik dan melahirkan kurator seni rupa. Berbeda di negara-negara Barat yang menyediakan pendidikan khusus kekuratorialan. Di sana seorang kurator juga telah terspesialisasi, seperti kurator fotografi atau khusus yang mendalami artefak sejarah, misalnya.

Dari sejarahnya, kurator ialah posisi atau jabatan struktural resmi pada museum. Entah museum yang memajang benda sejarah atau artefak seni budaya yang spesifik, seperti museum seni rupa. Dalam perkembangannya lalu muncul kurator tandingan yang disebut kurator independen. Kemudian seniman dan kurator independen membuat pameran tandingan di sejumlah ruang alternatif; atau populer disebut art-space. Sesungguhnya ia lahir ketika ada "diskriminasi" bahwa tidak semua karya seni rupa dianggap bisa dan layak tampil dalam pameran yang diadakan oleh pihak museum. Celakanya, dalam perjalanannya, kurator independen dan ruang alternatif yang digagasnya itu tidak bisa memberikan akses yang luas kepada publik. Juga jelas sekali, mereka pun berkolusi dengan model- model kerja kapitalistik yang ditentangnya. Dari kekecewaan itu kemudian hadirlah yang disebut artist-curator, yakni seniman yang tidak percaya lagi kepada cara kerja kurator manapun. Dia mempersiapkan apapun, karya dan manajemen pamerannya, secara soliter.

Melihat pentingnya posisi kurator dalam sebuah aktivitas berkesenirupaan, juga karena alasan minimnya pengetahuan yang mendukungnya, maka The Japan Foundation Jakarta menggagas sebuah Workshop Kuratorial Seni Rupa. Proyek yang dipandu oleh Tarlen Handayani, aktivis Klab Baca dan Toko Buku Kecil Bandung, berlangsung selama tiga hari, 6-8 Oktober 2003. Workshop menghadirkan nara sumber Asmudjo Jono Irianto (Kurator Independen), Agung Hujatnika (Kurator Selasar Sunaryo Art Space, Bandung), dan Ade Darmawan (pendiri Ruang Rupa, Jakarta). Gustaff H. Iskandar dari Bandung Center for New Media Arts sebagai Fasilitator dan Kuss Indarto (penulis seni rupa) sebagai Moderator. Hanya 10 peserta terpilih yang mengikuti workshop itu; mereka berasal dari Padang, Bangka, Denpasar, Semarang, Sidoarjo, Jakarta, dan Bandung. Wilayah Kuratorial Tidak disangka, seorang kurator tidak hanya bergelut dalam wilayah kerja kurasi saja, namun ia juga sebagai "tukang paku" seperti yang dialami Asmudjo Jono Irianto, co-curator CPOB. Asmudjo juga ikut menggantungkan sendiri sejumlah karya seni rupa di Galeri Nasional Jakarta, lokasi berlangsungnya CPOB.

Cerita Asmudjo memberikan gambaran bahwa wilayah kerja seorang kurator, di Indonesia, juga mencakup hal-hal kecil yang semestinya menjadi tanggung jawab penyelenggara pameran. Sebenarnya, tugas seorang kurator hanya mengkurasi karya seni rupa yang hendak dipamerkan (curatorial rationale). Ini pun sebuah wilayah kerja yang tidak mudah dan memerlukan keahlian dan pengalaman khusus. Namun, oleh sebab kurator independen tidak bekerja pada suatu lembaga tertentu, maka dia juga mengurusi semua remeh-temeh dalam sebuah perhelatan seni rupa. Cakupan kerjanya juga meliputi pekerjaan event organiser. Bahkan mempersiapkan proposal pencarian dana (budgeting)! Seorang kurator tidak saja merancang dan memajang (design & display) karya seni rupa dalam sebuah ruang pamer, tetapi ia juga menyiapkan pengepakan dan pengiriman (handling & transportation) karya tersebut pasca-pameran.

Proses terakhir menuntut kecermatan dan kehati-hatian yang makmisal. Jangan sampai pengembalian karya itu rusak ketika sampai di tangan senimannya. Tentu model dan bahan pengepakannya patut diperhatikan secara saksama. Pekerjaan merancang dan memajang karya seni rupa termasuk mengubah- suai ruang pameran sehingga didapatkan bentuk ruang yang ideal bagi karya yang dipamerkan, memprediksi arus pengunjung pameran, meletakkan karya pada ruang tertentu yang tepat, memudahkan pengunjung untuk mendapatkan informasi tentang karya yang dipamerkan, sampai kepada pertimbangan apakah perlu meletakkan kursi di depan sebuah karya agar pengunjung bisa menikmati karya itu secara lebih intens.

Seorang kurator juga tidak akan memandang remeh penataan cahaya (lighting) pada sebuah ruang pameran. Pencahayaan penting untuk menonjolkan detail karya dua dimensi (lukisan) dan memberikan efek dimensional pada karya-karya yang inkonvensional (contoh: karya instalasi). Informasi tentang karya yang dipajang bisa dalam bentuk labelling (umumnya meliputi: judul, tahun pembuatan, nama seniman, ukuran, bahan), wall-text (keterangan singkat tentang karya bersangkutan), dan caption (versi pendek dari tulisan kuratorial). Meletakkan material informasi itu juga tidak boleh ceroboh. Hal yang perlu diperhatikan ialah pengunjung diberikan ruang lega untuk mencerna karya ketimbang disesaki dengan berbagai material informasi yang tidak tepat posisinya. Bermacam bentuk dan cara promosi serta material publikasinya (promotion & publication) wajib di simak sebagai bagian penting satu kerja kuratorial.

Promosi lebih dititikberatkan kepada bagaimana menyusun strategi pameran yang komprehensif yang perlu ditujukan kepada publik secara luas dan pers (cetak/elektronik). Pers harus dicermati secara khusus. Sebab, media inilah satu-satunya yang mampu memberikan efek ganda dan berkesinambungan atas sebuah gagasan atau pameran yang tengah dilangsungkan. Akan sia-sia saja sebuah pameran bagus yang tidak diendus oleh pers. Efek multilapis yang hendak diraih, antara lain, bisa dari dipublikasikannya berita atau tulisan dan bahkan kritikan tentang pameran termaksud. Kritikan tidak berarti jelek. Justru ini harus disikapi sebagai suatu wacana yang akan mampu menggulirkan gagasan pameran itu ke tataran lanjutan.

Material publikasi yang umum ialah selebaran, spanduk, baliho, rilis pers, buletin, dan katalog. Buletin berisi materi informasi, jadwal pameran, dan tulisan kuratorial dalam bentuknya yang lebih sederhana. Materi ini lebih ditujukan kepada publik dan pers secara luas dan bisa diterbitkan jauh hari sebelum pameran berlangsung. Sedangkan katalog, pada pameran seni rupa yang besar dan penting di berbagai belahan dunia manapun, berisi riwayat hidup singkat seniman dan karyanya, tulisan kuratorial, dan beberapa artikel dari penulis atau kritikus seni rupa. Biasanya materi tulisan dalam katalog cukup berat bagi awam, karena sifatnya spesifik dan teknis. Kemasan katalog umumnya baik, dan bahkan pada beberapa pameran masuk kategori mewah, sehingga harganya mahal.

Di atas semua itu, seorang kurator juga perlu mencermati persoalan hukum yang mungkin timbul dari sebuah pameran. Oleh karena itu dia harus menerapkan secara baik tata cara perjanjian, etika yang berlaku secara umum, dan hak-hak berbagai pihak yang terlibat dalam pergelaran yang dibuatnya (ethicts, contracts, copy rights). Tentu dari semua kerumitan ini adalah keberhasilan yang maksimal yang diharapkan. Pertimbangan Kuratorial Dalam sebuah pameran seni rupa skala besar, misalnya bienial atau trienial, penyelenggara biasanya menggagas program yang ditujukan kepada publik secara luas. Misalnya diskusi seni rupa, artist-talk, pelibatan publik pada karya seni instalasi, dan juga program anak-anak.

Beberapa program di atas sesungguhnya hendak menjawab pertanyaan dasar: untuk siapakah sebuah pemeran seni rupa itu diadakan? Tentu pameran tidak ditujukan kepada kalangan seniman saja, melainkan wajib digagas sebagai suatu pertanggungjawaban seniman kepada publik disamping mempertontonkan proses kreatifnya. Diskusi seni rupa sangat mungkin hanya melibatkan peserta terbatas dengan minat yang khusus; oleh sebab itu artist-talk bisa menjadi jembatan agar publik paham terhadap karya seniman yang dipamerkan. Jangan sampai terulang lagi dalam sebuah diskusi, misalnya, seniman yang sedang berpameran "dibungkam" bersuara. Ini perilaku yang merugikan seniman, publik, juga medan sosial seni lainnya.

Menengok CPOB, ada hal menarik di sana. Penyelenggara mengadakan program khusus untuk anak-anak yang dipandu tenaga ahli. Ini sebuah siasat yang cerdik untuk mendekatkan anak-anak pada karya seni dan perilaku berkesenian secara umum. Acara semacam ini patut dilirik oleh kita semua. Akhirnya, uraian singkat ini hendak menyatakan bahwa kurator sangat diperlukan dalam sebuah pameran seni rupa yang diagendakan untuk menjadi sebuah pameran yang berarti, baik, dan dicatat sejarah. Kurator dengan segenap pengetahuan, keahlian, dan integritasnya diharapkan mampu memediasi berbagai kepentingan seniman dan publik, sehingga sebuah pameran akan mencapai target yang diharapkan. Konon, kurator yang baik akan mampu mengkonstruk gagasan bernas yang tidak lebih rendah dari proses kreatif seniman pada umumnya. Kurator, pada tataran tertenu, lebih mampu mencermati pewacanaan kontemporer yang sedang terjadi dalam medan sosial seni.

 

*** - Penulis adalah peserta Workshop Kuratorial Seni Rupa The Japan Foundation-Jakarta, 6-8 Oktober 2003, tinggal di Semarang