Muka
Galeri
Galeri
Foto Terbaru
Menurut Negara
Menurut Provinsi (Indonesia)
Menurut Kamera
Menurut Lensa
Foto Pilihan Editor
Daftar Kategori
Abstrak
Arsitektur
Budaya
Olah Digital
Fashion
Humor
Interior
Jurnalistik
Komersial
Landscape
Lubang Jarum
Makro
Manusia
Model
Nature
Olahraga
Panggung
Pedesaan
Perkotaan
Pets
Potret
Satwa
Snapshot
Still Life
Stock Photo
Transportasi
Wisata
Lain-lain
Bawah Air
Pernikahan
Forum
Forum
Topik Terbaru
Artificial Intelligence
Photography
Bincang Bebas
Pengumuman
Fotografi Umum
Konsep dan Tema
Olah Digital
Fotografi Hitam-Putih dan
Teknik Kamar Gelap
Abstrak & Still Life
Eksperimen & Special
Effect
Infra Red
Jurnalistik & Olah Raga
Landscape, Nature & Satwa
Makro
Manusia (Portrait & Human
Interest)
Model, Fashion & Wedding
Strobist
Street Photography,
Perkotaan, Arsitektur
Underwater
Lomba Foto
Seminar/Workshop/Pameran
Hunting
Kumpul FN & Ucapan
Liputan Acara
Canon
Nikon
Olympus
Fujifilm
Sony
Merk Lain
Asesoris Fotografi
Studio Lighting
Printer & Scanner
Artikel
Artikel Terbaru
Seputar Fotografer.net
FN Video
Berita Fotografi
Portfolio dan Photo Story
Teknik Fotografi
Opini dan Editorial
Exposure: Be Inspired
Exposure: Photo Essay
Exposure: My Project
Exposure: Traveling
Exposure: Perangkat Foto
dan Olah Foto
Cari:
Galeri
Forum
Artikel
Register
Login
Home
Artikel
Opini dan Editorial
Fotografer Indonesia terjebak Komposisi 9 bagian
Fotografer Indonesia terjebak Komposisi 9 bagian
Tanggal: Selasa, 12 Aug 2003 03:55 PM
Oleh:
Iwan Zahar. M.Sc
1
Komposisi 9 bagian
Fotografer Indonesia terjebak KOMPOSISI 9 BAGIAN Kebanyakan kita sejak kecil dicekokin dalam pelajaran seni rupa Sekolah Dasar. Ini lho cara gambar gunung, sawah dan tiang listrik. Gunungnya harus dua warnanya biru, matahari ditengah gunung dengan warna kuning, tiang listrik berjejer membuat perspektif ketemu di antara dua gunung. Terus guru gambar memberi contoh cara gambar padi di sawah. Setelah dewasa, oleh guru-guru foto kita dicekokin lagi dengan pembagian komposisi 9 bagian, terutama di klub-klub foto. Cara doktrin seperti ini tidak diperbolehkan di pendidikan seni rupa barat. Seorang anak di barat akan diajar menjadi Storry teller (mirip fotografer legendaris Eugene Smith). Jadi si anak di bawa ke gunung, kebun binatang dan laut, tentunya bukan Mall. Kemudian si anak barat tersebut diminta menceritakan apa yang dia lihat dengan gambar. Tidak ada pelajaran gradasi, mewarnai, proporsi, warna, perspektif seperti yang diajarkan pada anak usia 12 th ke atas. Semua teknik melukis baru boleh diajar pada anak 12 th sampai orang dewasa. Sebelumnya tidak diperkenankan. Hasilnya mereka jadi fotografer yang lebih kreatif. Cara doktrinasi kita kental sekali, seperti komposisi kertas dibagi 9 bagian. Ambil foto dan anda bagi 3 di sisi panjang dan lebar. Maka kita akan punya 9 kotak. Menurut Guru-guru Foto di kursus maupun Salon Foto akan bilang, subyek foto diletakkan pada 1/3 bagian atau di 2/3 bagian. Baik atas, bawah, maupun sisi kanan dan kiri. Garis horison juga diletakkan pada 1/3 atau 2/3 pada foto pemandangan dan segala macam doktrin. Kondisi serba doktrin ini di buat parah oleh klub-klub Salon kelas luar negri seperti Royal Photographic Society of Great Britain (RPSdan Photographic society) of America (PSA). Apalagi gelar-gelar yang ditawarkan oleh orang barat lagi. Makanya orang kita tergiur. Padahal seperti pernyataan Majalah Photo Asia dan beberapa fotografer terkenal bilang RPS dan PSA sudah ditinggal fotografer barat puluhan tahun yang lalu. Bukti peserta lomba yang hanya dibawah 1000 foto di kejuaraan RPS, bandingkan dengan lomba foto American Photo atau Nikon Photo yang sekitar 25 ribu foto, data lengkap pada buku Catatan Fotografer, 2003). Mereka tidak mau dijebak oleh komposisi yang serba standar atau salah satunya dibagi 9, golden triangle dsb. Sejak kecil anak barat itu dididik itu cari hal yang orisinil. Kalau kita masih mengikuti “hukum” komposisi 9 akan menjadi kita seperti robot yang tidak kreatif. Tambahan pula masih banyak buku fotografi barat sekalipun yang mengajar dengan pembagian dibagi 9 dan golden triangle. Kalau kita lihat secara detail, memang untuk foto dengan latar belakang laut atau gunung yang garis horisonnya jelas, kadang komposisi 9 bagian ini masih enak dilihat. Foto klise matahari terbenam di pantai atau kuda-kuda berlarian di gunung Bromo memang dengan komposisi 9 bagian masih Ok. Lolos standar profesional. Semua guru foto selalu mengajar “ Lihat Lukisan”. Pendapat itu bener banget. Dua tahun saya coba tiru teknik melukis dengan melukis karya dari Rembrandt sampai Van Gogh. Barulah pemahaman warna, bentuk, tekstur itu dari pelukis itu membuka mata saya. Semua pelukis sewaktu di awal karirnya, mereka meniru teknik pendahulunya. Komposisi 9 bagian itu memang ada pada karya Leonardo da Vinci dan banyak karya klasik lainnya. Kita pasti ingat lukisan Monalisa. Ada gunung dan garis horison di belakang kepala Monalisa. Diukur tinggi garis horison itu memang mengikuti hukum 9 bagian. Tidak usah jauh-jauh, lihat juga portfolio foto pengantin dari Foto Studio King atau Tarzan dsb. Kebanyakan ada pengantin dengan latar belakang bangunan atau pemandangan (dalam studio) yang mengikuti komposisi hukum 9 bagian tersebut. Karya foto yang mengikuti gaya-gaya lukisan klasik dengan warna-warna coklat tua, warna-warna lukisan klasik tersebut rata-rata agak monokrom. Cocok aplikasi hukum komposisi 9 bagian. Komposisi 9 bagian mulai tidak berlaku sejak pelukis Monet, Vincent van Gogh yang mulai menggunakan variasi warna yang banyak sekali. Apalagi sejak Picasso muncul. Dunia seni rupa tidak pernah sama lagi dan statis, Picasso bukan saja merusak komposisi 9 bagian tersebut, bentuk asli, perspektif juga ikutan di”rusak”. Bagaimana dengan fotografi. Komposisi 9 bagian masih terlihat pada karya Ansel Adams dan F-64. Hal ini disebabkan Ansel Adams banyak memotret pemandangan yang ada garis horisonnya. Tetapi karya-karya Adams yang banyak menonjolkan tekstur batuan, kayu dsb tidak terlihat aplikasi komposisi 9. Pada karya fotografer selanjutnya, Henry Cartier Bresson yang jarang menggunakan komposisi 9 bagian. Dia lebih mementingkan gerak tubuh dari manusia. Seluruh karyanya hampir semua tentang gerak tubuh dan bahasa tubuh (gesture). Dari orang meloncat ke air, penari balet, Sukarno lagi teriak, orang cina lagi dorong-dorongan dsb. Apalagi fotografer terkenal saat ini yang banyak menggunakan foto warna. Komposisi 9 bagian tidak terpakai lagi. Pemotretan warna yang banyak lebih mementingkan keseimbangan proporsi warna, bukan posisi subyek. Komposisi warna beda dengan komposisi hitam putih. Segala macam tentang garis, bentuk, perspektif, tekstur yang berlaku pada pelajaran komposisi foto hitam putih, tidak berlaku semua pada foto warna. Kita ambil contoh pelajaran Guru kita SD dulu, pohon berjajar atau tiang listrik berjajar, gunung dua berwarna biru. dengan matahari ditengah warna kuning. Seandainya anak itu menggambar dengan pinsil, maka akan terlihat gunung warna abu-abu, matahari abu-abu muda dan seterusnya. Kondisi warna dan hitam putih pada kedua kondisi bisa sama. Tetapi bila kita letakkan rumah warna dindingnya merah di salah satu sisi jalan. Maka komposisinya akan berubah total. Apalagi salah satu gunung digambar warna merah dan yang satu digambar warna abu-abu. Maka komposisinya akan beda dan tidak bisa digambar hanya mengikuti hukum perspektif lagi. Boleh dibilang belajar merasakan suatu komposisi itu yang paling lama dan sulit. Siapapun dia. Seorang komponis musik terkenal Wolfgang Amedeus Mozart mencoba berbagai komposisi pemusik besar pendahulunya berulang-ulang. Padahal dia dikenal sudah bisa main musik sejak usia 3 th. Van Gogh juga begitu, Henry Cartier Bresson juga selalu mencoba variasi komposisi. Sekilas tampaknya mudah hanya memainkan unsur garis, warna, bentuk dan tekstur, untuk mencapai suatu komposisi yang dinamis, seimbang dan berdimensi. Baik lukisan maupun foto kan isinya cuman itu garis, warna, bentuk dan tekstur. Hanya meng”komposisikannya” yang jadi masalah. Beda nyata kita dengan Barat dan Jepang, mereka dididik seni rupa dengan baik SD, SMP dan SMU. Baru belajar fotografi. Walau begitu memang tidak perlu berkecil hati, Van Gogh dan Goya tidak pernah menginjak bangku kuliah Seni Rupa dan mereka belajar seni rupa secara otodidak. Tiap hari ngelukis. Harry Callahan, mantan montir mobil yang jadi pendiri sekolah Foto Rhode Island adalah salah satu contoh lain. Seni rupa bisa dipelajari secara otodidak, apalagi di era digital ini. Kebanyakan fotografer di Indonesia terbalik, setelah 10 th motret baru sadar bahwa seni rupa seharusnya yang dipelajari dahulu baru fotografi.
Iwan Zahar, pengajar Foto dan Penulis
Komentar
cosplayer indonesia
(0)
Situs yang mewadahi Komunitas cosplayer Indonesia meliputi berita tentang cosplay, event cosplay indonesia dan lain sebagainya
3 tahun yang lalu
Reply
Error Found
×
×
Login
Email address/Username:
Password:
Ingat saya