Terima kasih atas komentar teman-teman atas foto "Gelora Cikaso". Ada yang menanyakan lokasinya, ada yang mengomentari aspek teknisnya, ada yang mengusulkan perbaikannya, dan lainnya. Atas masukan-masukan tersebut, terpikir oleh saya untuk "membagi" pengalaman mulai dari liku-liku perjalanan, excitement di lokasi dan excitement di muka komputer. Sekali lagi tulisan ini bukan dimaksudkan sebagai pembenaran atas hasil akhir foto tersebut, tetapi sebagai upaya sharing dengan "tulus dan jujur" melalui media fotografi digital, sebagaimana menjadi semangat dasar partner saya Budi Darmawan dan saya sendiri. Sebagai pehobi fotografi yang pernah mengenyam suka duka kamar gelap sampai tingkatan "fotografi untuk cetak offset" (separasi warna), kami berdua melihat banyak kesamaan antara proses kamar gelap dengan fasilitas yang diberikan oleh software Photoshop (PS). Perbedaan yang paling mencolok adalah kemudahan dan kecepatan proses yang diberikan oleh PS. Kemudahan ini tentulah memberikan manfaat yang sangat besar untuk mewujudkan gagasan-gagasan kami yang selama ini hanya terbatas sebagai wacana saja, karena untuk mewujudkannya perlu keuletan, kesabaran dan dukungan peralatan yang canggih. Sebagai bahasan, kami sajikan proses terjadinya foto "Gelora Cikaso". Hari itu, Minggu, 3 Nopember 2002, bersama teman-teman dari USF IPEBI dan rekan Lukas Setia Atmadja, kami menuju ke arah Ujung Genteng (masuk simpangan ke arah Surade, 3-5 km sebelum Pelabuhan Ratu dari arah Sukabumi), setelah acara buru foto USF IPEBI di Pelabuhan Ratu. Tiba di lokasi sekitar jam 15:00, dalam kondisi cuaca rintik-rintik dan mendung. Waktu itu, kaki saya sedang bengkak, karena serangan asam urat. Jalan tertatih-tatih, menyusuri jalan jang licin dan menanjak. TIdak jauh, mungkin hanya 400 meter, tetapi dengan kondisi kaki yang tidak menguntungkan, mencapai lokasi merupakan siksaan tersendiri, padahal photo gear saya diangkut oleh seorang "porter". Untuk mendapatkan sudut pemotretan yang bagus, tidaklah mudah, karena arus airnya sedang deras, di tambah angin keras yang menerpa membawa butiran air dari curug (air terjun). Tidak ada posisi yang ideal untuk memasang tripod, sehingga saya memutuskan untuk menggunakan lensa paling lebar, sesuai dengan tip praktis untuk bisa memotret dengan kondisi "hand held" (Tipnya adalah: 1/focal length, artinya kalau kita menggunakan focal length 24 mm, kecepatan dapat kita pasang di 1/24 detik atau 1/25 detik, agar tidak terjadi camera shake). Maksud penggunaan slow speed sekitar 1/20 - 1/30, adalah agar arus air tertangkap efek "gerak"nya. Makin rendah kecepatan rana yang kita pilih, citra air akan tertangkap seperti "kapas". Jepret sana jepret sini, di tengah menahan sakit kaki dan guyuran butiran air dari curug, di samping menjaga kesetimbangan badan di atas batu yang licin, terekamlah foto berikut, yang di rumah dipilih sebagai gambar yang akan diproses lebih lanjut. Dengan mas Lukas, kami saling bertukar lensa, untuk mendapatkan perspektif yang diinginkan, itupun dengan punggung menghadap arah cipratan air, agar tidak ada butiran air masuk ke dalam kamera, waktu lensa dilepas tukarkan. Sebagai orang yang lebih sehat dari saya, mas Lukas punya kesempatan bergerak yang lebih bebas, salah satu fotonya pernah saya lihat di galeri fotografer.net, yang judulnya (kalau tidak salah): "Joko Tarub's Angel". Memang rekan-rekan USF IPEBI membawa serta 2 orang "angels". Salah satunya muncul dalam koleksi pertama saya: "Solitude". Perjalanan pulang, setelah berganti baju, cukup seru, karena "terselip" di antara konvoi tentara yang habis melakukan latihan survival. Kebetulan saya kebagian menyupir, karena mas Lukas punya kendala menyupir malam hari, karena penglihatan dengan lensa kontaknya. Singkat kata: mulailah saya dengan men down load dan memilih foto yang akan saya proses lebih lanjut. Proses ini, di kamar gelap analog dikenal dengan istilah evaluasi negatif/slide, lalu dibuat contact print. Di komputer dengan program " viewer", dipilihlah beberapa gambar, untuk dipisahkan dalam folder tersendiri, yang kemudian diproses di kamar terang dengan software Photoshop. Urutan yang biasa saya lakukan dimulai dengan koreksi tonal (contrast/brightness), koreksi wana (color balance), lalu kalau diperlukan diberikan sentuhan untuk menambah kecemerlangan warna (hue and saturation), bagian selanjutnya adalah cropping (komposisi) dan penyimpanan file, sesuai dengan tujuan penayangannya. (Kalau untuk fotografer.net, formulanya adalah: image size>72 pixels/inch>sisi terpanjang 600 pixels>save for web>sedikit dibawah 200kB>OK). Ketika melihat tampilan pertama setelah dikoreksi tonal dan warnanya, timbullah gagasan nakal untuk merubah mood air yang bergelora dari nuasa coklat/kemerahan menjadi biru/hijau untuk memberikan kesan sejuk. Gagasan ini pasti ditentang oleh para purist dan para journalist, karena menampilkan keadaan yang "palsu". Namun demikian approach yang saya lakukan dan perasaan hati waktu itu adalah melalui instink artistik. Anyway, sebagai seorang generalist, saya mencoba mengapresiasi dan mengekspresikan foto-foto saya sesuai dengan visi saya tentang suatu keadaan (scene). Jadi, jangan kaget, kalau ada foto-foto yang bernuasa jurnalistik dna humanistis di satu kutub, tetapi ada foto-foto yang sudah menjadi karya design grafis di kutub yang lain. Di antara kedua kutub tersebut, tampil foto-foto piktorial dengan gaya salonist, karena sebelum ini, di wahana itulah saya berkiprah, setelah sebelumnya (tahun 1970 an) saya menjadi photo editor majalah pop Aktuil- di Bandung. Dalam proses kreatif mengolah foto yang tadinya underexposed (mendung, gerimis, sore) dan agak kusam, menjadi foto yang cerah dan bernuasa "cool", terjadilah "pelanggaran-pelanggaran" batas-batas toleransi Photoshop, yang terwujud dalam bentuk "noise" dan nuansa-nuansa aneh" lainnya. Tampilan ini, telah menjadi perhatian beberapa rekan yang memberikan komentarnya. Apa yang tampil pada foto ini, tentu saja mempunyai dua sisi, yaitu mereka yang tidak perduli dengan "keanehan-keanehan" yang terjadi, pokoknya "saya suka" dan mereka yang analitis serta sangat perduli pada kaidah-kaidah teknis yang perlu ditaati. Pilihannya ada pada Anda, buat saya, secara "tulus dan jujur" telah saya uraikan proses yang telah saya lakukan dengan foto "Gelora Cikaso" sampai tampil di galeri yang kita cintai. Bukan manipulasi digital, tetapi olah digital. Di mana batasnya? Sejauh imaginasi kita dapat menjangkaunya.

Jakarta 12 Maret 2003